Selasa, 29 Mei 2012

Karena Pelangi itu Masih Ada


Namaku Rana, ini adalah cerita mengenai aku dan hujan. Hujan, akhir-akhir ini menjadi sahabat terbaikku. Yang menemaniku bagaimana harus menuliskan apa yang aku rasakan dalam diriku, atau mencurahkan pada Tuhan. Hujan, memang selalu punya makna. Ketika diriku dalam keputusasaan, hujan yang membuatku semakin tunduk dalam munajatku pada Tuhan, hujan yang membuat tangisku semakin deras. Hujan juga yang membuatku bisa merenungi setiap jengkal kehidupan yang telah aku jalani. Namun hujan juga membuat sedihku semakin mendalam. Karena hujan, semesta seolah mendukung dukaku, mengunci keceriaanku bersama mentari yang bersembunyi. Apalagi jika sendiri. 

Sore itu, aku terpuruk dengan diriku sendiri. Dengan kebodohanku yang akhirnya membuat hidupku selalu merasa bersalah. Dengan lelah yang membuatku semakin tidak mengerti akan keberadaanku di sini, untuk apa dan untuk siapa. Aku telah lupa akan mimpi-mimpi yang menjadi alasan untuk apa aku berdiri di tempat asing ini, bukan lagi underachievement, bukan lagi demotivasi, bukan lagi learned helplesness. Aku benar-benar berada dalam titik keterpurukanku, ketika berbagai urusan tidak aku selesaikan dengan baik. Kuliah, organisasi, pekerjaan, ibadah, hubungan interpersonal, nama baik. Ah, aku tak tahu harus mulai memperbaiki darimana.

Rana, aku merindukan Rana yang dulu, yang ceria bagaimanapun kondisinya, yang tetap ramah betapapun sulitnya, yang tegar, yang tegas terhadap diri sendiri, yang mempunyai semangat juang meraih apa yang disebutnya sebagai mimpi, yang dirangkai dalam sebuah kalimat “Rana, sang pengejar matahari”. Dan kini? Kemana matahari-matahari itu, kemana Rana yang dulu? Mengapa hujan dan mendung kini senantiasa menghampirinya?
Namaku Rana, kini aku merasakan lelah yang luar biasa, merasa semua beban aku rasakan sendiri tanpa ada yang membantuku. Tugas kuliah aku rasakan sebagai suatu hukuman atas pilihanku melanjutkan kuliah, tuntutan organisasi kurasakan sebagai sebuah kutukan ketika aku memutuskan untuk mengikuti ini dan itu. Dan mimpi-mimpi itu, ayah dan ibu, sahabat terbaik, mengapa seolah tak bisa membangkitkan semangatku, mereka kehilangan ruhnya, kehilangan makna, menghadirkan kehampaan hati yang menggetirkan, memilukan. Sungguh kemana Rana yang dahulu, kemana?

Dan hujan masih terus turun sepanjang sore ini, menemani renungan panjangku, kontemplasi atas kegagalanku mengendalikan diri, kegagalanku menjaga locus of control internalku, refleksi terhadap kesempatan-kesempatan yang telah aku lewatkan, menyesali ketertinggalanku yang begitu jauh. Dan mendung masih menemani hujan yang bergemericik riuh, deras segan berhentipun tak mau, suasana yang membuat kepiluan ini semakin menjadi. Namun aku tidak akan pernah mau berlama-lama dalam kondisi frustrasi ini, tidak. Tapi bagaimana dayaku, kesedihan ini begitu dalam merasukiku, kegagalan-kegagalan itu. 
Ah ataukah ideal self ku yang terlalu tinggi sementara diriku yang sebenarnya baru seperti ini. Ideal self yang menciptakan gap terlalu lebar yang membuatku depresi? Entahlah

Yang aku tahu, saat ini aku sedang putus asa, aku lelah, aku penat, aku kehilangan matahariku, aku sedang berduka, berduka dengan diriku sendiri. Aku bingung, disorientasi, apa yang harus aku lakukan?
Dan langit masih terus menurunkan air kehidupannya, masih dengan suasana yang sama. Aku tekadkan keluar dari penjara ruangan ini, berdoa di bawah guyuran air hujan, membiarkan air kehidupan itu membasahiku, membasahi jiwaku yang semakin layu, berharap mampu menyirami dan menyuburkannya, merasakan kebebasan, berteriak melepaskan rantai-rantai kepenatan. Dan saat ini, yang aku ingin hanya satu, aku ingin pulang, aku ingin pulang, pulang dalam alam kebebasan, mencari jati diri Rana yang dulu, aku ingin pulang, kalaupun aku tidak mendapati matahari-matahari itu, aku berharap bisa menemukan pelangi. Pelangi yang indah setelah gerimis hujan di hatiku. Karena aku yakin, pelangi itu masih ada, masih ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar