Jumat, 15 Juli 2011

Sebuah catatan di hari Jumat di Pertengahan bulan Juli



Masih dengan semilir angin dari danau dan hutan-hutan di depanku. Berada di bawah agungnya rektorat dengan pemandangan megah perpustakaan pusat baru di sana yang berdampingan dengan sebuah mesjid dimana manusia menghadap Tuannya, bersimpuh melepas lelah dan keluhan kepada Zat yang menciptakannya. 

Masih di sebah sore yang selama beberapa minggu terakhir ini selalu aku agendakan untuk sebuah kegiatan rutin menghadapi sebuah perhelatan besar. Sebuah kegiatan yang aku dipercayakan untuk bertanggungjawab atas semua yang terjadi dan mengkondisikan agar sesuai dengan apa yang aku kehendaki. Latihan teater, sebuah pementasan seni untuk acara akhir bulan ini di kota Gudeg, Yogyakarta. Acara yang akan mempertemukanku dengan saudara se-tanah air yang dengan kuasa Allah kami dipertemukan dalam suatu naungan yang sama. Dalam suatu naungan yang begitu indah dan insya Allah berkah, dalam suatu naungan yang menurutku seharusnya kami mau mengorbankan segala hal untuknya.

Masih dengan kilauan air danau yang diterpa mentari sore dan orang-orang yang telah bebas dari pekerjaannya hari ini, berjalan pulang atau sekedar menikmati udara sore UI yang sejuk, aku duduk disini. tak seperti biasa, aku masih sendiri padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, waktu dimana seharusnya latihan sudah dimulai. kemana mereka??

Hmm, fluktuasi, amplitudo, gelombang, entah dengan kata-kata apa lagi aku harus menyebutnya. Perbedaan pendapat, perbedaan suasana hati, perbedaan prioritas. Terkadang aku berpikir, andai dengan mudahnya bisa merubah suasana hati orang lain, menyamakan dengan suasana hati yang kita inginkan. untuk mencapai apa yang menjadi tujuan bersama, untuk berjuang bersama, untuk terus berkomitmen pada apa yang mengikat kita. Untuk menempatkan loyalitas sebagai the primary values. 

Masih dengan suara derap langkah orang-orang yang hendak menemui keluarganya di rumah setelah seharian mengabdi sesuai bidangnya serta suara sirine kereta dari stasiun di sana, aku masih berharap semoga memang benar bahwa bukan tanpa hikmah Allah berkehendak seperti ini, bahwa memang benar bahwa Allah bisa saja dengan sangat mudah mematikan mereka yang hidup, menghidupkan mereka yang mati, menumpahkan air laut, manggoncangkan dunia, membuat segala hal yang tidak mungkin menjadi sangat mungkin.

Salahkah jika dari awal aku menempatkan diri dalam suatu kepedulian yang tinggi terhadap kegiatan ini yang sayangnya  membuat yang lain merasa tertinggal jauh dan tidak sefrekuensi denganku?
Salahkah jika aku memilih untuk selalu memprioritaskan hal ini dan berharap yang lain pun melakukan hal yang sama? Yang kemudian jika aku ingin menginternalisasikan nilaiku, masih ada juga yang tidak berusaha memahaminya…

Padahal jika mau menengok dalam hatiku, aku capek, jika tak ada satu kata bahwa Allah telah sangat baik menakdirkanku berada di jalan ini, dimana aku harus melakukan yang terbaik sebagai wujud rasa syukurku, maka mungkin aku akan sangat acuh dan tak peduli.

Allah Ya Rabbi, bimbinglah kami istiqomah di jalan ini
Jika memang ini caraMu mempersatukan kami, maka jagalah kami agar tak pernah melalaikanmu,
bahwa dengan memberi yang terbaik dalam hal ini, itu juga merupakan suatu cara untuk memperoleh keridhoanMu, bimbinglah kami agar senantiasa berharap dan bertawakkal padaMu

Kamis, 14 Juli 2011

Untaian Rindu buat yang Disana


Kalender berubah rangkaian huruf setiap bergantinya malam ke siang, mulai Senin, Selasa, rabu, hingga ke Senin lagi.
Menghitung mulai dari Juli, Agustus, September hingga tak terasa siklus duabelas bulanan itu akan berputar menuju bulan yang sama dengan pertambahan besaran angka di digit terakhir tahunnya.

Hmm, hampir satu tahun aku menjalani kehidupan ini Ibu. Jauh darimu, berjuang di tanah rantau, meninggalkan masa-masa labil anak SMA, bersiap menghadapi dunia nyata, masyarakat, peradaban.
haha, Dan hari itu kini benar-benar aku jalani Ibu

Semua yang engkau ceritakan, engkau berpesan untuk begini dan begini, untuk tidak begitu serta lebih baik seperti itu. Tentang sebuah ilmu kehidupan, tentang sebuah masa dimana engkau katakan dari awal bahwa aku akan mengalaminya, tentang sebuah nasihat, yang mungkin terlahir dari harapan atau kekhawatiranmu terhadapku dalam menghadapinya.

Tentang sebuah bekal kehidupan.

Satu tahun lalu aku masih bisa mengeluhkan masalahku kepadamu, bersandar di pangkuanmu, bermanja-manja denganmu, memintamu menyisir dan mengikat rambutku, sesekali meminta suapanmu dalam makan malamku, berdiskusi tentang pilihan ini dan itu. 

Kini aku merasakan itu Ibu, jauh denganmu, bercengkerama pun jarang, bertatap muka hanya di paruh dan akhir tahun. Kabel maya komunikasi dua arah itu memaksaku hanya mendengarmu, yang justru semakin membuatku tak kuasa menahan rasa ingin bertemu denganmu.
Ibu,kini aku merasakan apa yang dinamakan perjuangan, ketekunan, berbagi, bersikap ramah, dan sungguh-sungguh. Aku mengalaminya Ibu. Yang dengan jatuh bangun selalu aku coba untuk menitinya satu persatu, hingga kemudian aku berharap itu akan menjadi amalan yang memudahkanku meraih mimpiku. 

Dan aku disini seorang diri Ibu, tak ada yang menguatkanku sebagaimana kau dulu selalu menopangku. Tak ada yang melapangkan dadaku sebagaimana engkau melakukannya, membangunkanku ketika jatuh dalam melangkah, menuntunku, membesarkan hatiku. Aku terjatuh Ibu, terseok, sempat terpuruk,dan tak hanya sekali.
Ketika dulu selalu kau ucap bahwa tak selamanya kau akan menemaniku. Tiap kali kuingat bahwa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. tentang nasihat yang setiap saat kau ucap bahwa menebar kebaikan dimanapun aku berada merupakan keharusan bagiku. Tentang harapanmu, doa untukku yang aku yakin selalu engkau panjatkan pada-Nya di setiap nafas yang kau hembus. Kata sayang dan bangga yang senantiasa kau ucap untuk membesarkan hatiku. 

Dan sekarang hampir satu tahun, hampir tiga ratus enam puluh lima hari aku terpisah jarak denganmu. Banyak kutemui pelajaran berharga itu Ibu. Saat dimana aku harus mandiri, harus pandai mengatur waktu, harus bisa berbagi, harus memahami, harus lebih ramah lagi. Saat dimana ada orang yang mengatakanku sombong, keras kepala, sok suci, bodoh. Saat dimana ada yang memujiku cerdas, ramah. Saat tak bisa aku membedakan mana hitam dan mana putih. Ketika aku mencoba untuk memberi apa yang disebut pengorbanan, ketika aku harus dikecewakan, ketika banyak orang yang begitu baik dan begitu menginspirasi, saat dimana aku dibantu untuk membangun dan mewujudkan mimpiku. Saat dimana aku bingung dengan fenomena yang ada, kepalsuan dan kesemuan, kebohongan. Dimana aku harus belajar bagaimana membawa diri, mewarnai bukan terwarnai. Di saat aku akhirnya menemukan jalanku, jalan hidupku di sini. Saat aku semakin nyata menapaki hari dengan sesuatu yang selalu aku coba memberi manfaat.

Aku ingin menceritakan semuanya padamu Ibu, di saat aku beristirahat sejenak di pangkuanmu, dengan belaian manja jemarimu di kepalaku, dengan desir angin yang lembut. Di malam syahdu yang menunjukkan keromantisannya, aku ingin ceritakan itu semua pedamu Ibu. Kemudian ingin kudengar bait-bait nasihat dan pesanmu untuk bekalku berjuang lebih gigih lagi. Aku ingin melepas kepenatan-kepenatan yang membelenggu, mengisi ulang energy kehidupanku, mempersiapkan amunisi untuk kembali berperang, berjuang. Aku ingin ceritakan semua padamu Ibu, yang mungkin bisa membuatmu tersenyum bangga, tersenyum geli ataupun menangis terharu sesuai dengan suasana hatiku. Aku ingin berbagi denganmu Ibu. Meminta bekal untuk mewujudkan mimpiku dan harapanmu.

TKI Riwayatmu Kini


Renita Putri Maharani/ Mahasiswi Fakultas Psikologi UI
Penerima Beastudi Etos Jakarta

Terhitung sejak tanggal 18 Juni 2011 lalu, berbagai media gencar memberitakan eksekusi mati Tenaga Kerja Indonesia asal Kampung Ceger RT 003/01, Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang dijatuhi hukuman pancung di Arab Saudi atas kasus pembunuhan terhadap majikannya Khairiyah Binti Hamid Mijlid. Berbagai opini dan sanggahan pun muncul menimbulkan arah pemberitaan yang beraneka ragam, mulai dari pemerintah yang kecolongan karena mendapat kabar pasca eksekusi, perlindungan terhadap TKI yang kurang optimal, tuntutan DPR kepada menteri Luar Negeri untuk mundur karena dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah diplomasi terkait TKI, banyaknya kecaman terhadap Arab Saudi dan lain sebagainya.

Tercatat tiga TKI yang telah dieksekusi mati atas kasus hukum yang menjeratnya. Dua orang dieksekusi di Arab Saudi, satu yang lain dieksekusi di Mesir (Republika, 22 Juni 2011). Saat ini masih terdapat 216 TKI yang masih berkutat dengan persidangan demi persidangan tersebar di Arab Saudi, Malaysia, beberapa di Singapura dan Suriah atas kasus pembunuhan dan narkoba. Duapuluh empat dari duapuluh delapan TKI bermasalah di Arab Saudi terlibat kasus pembunuhan yang sewaktu-waktu nasibnya bisa saja sama dengan Ruyati.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa TKI sampai melakukan tindakan pembunuhan? Terdapat jawaban karena mereka membela diri atau tidak sanggup menghadapi siksaan demi siksaan yang dialami oleh majikannya. Mengapa majikan sampai menganiaya? Hal inilah yang mempunyai berbagai alternatif jawaban. Mulai dari standar kinerja yang mereka tetapkan terlalu tinggi bagi TKI, banyak TKI yang hanya bermodal bahasa Inggris apa adanya dan skill yang kurang memadai, jaminan perlindungan hukum yang tidak jelas baik itu dari negara pengirim maupun negara tujuan, atau perusahaan pendistribusian TKI yang seolah-olah lepas tanggung jawab atas TKI yang dikirimnya.

Secara berulang, TKI seolah-olah selalu menjadi kaum yang jauh dari perlindungan hukum sehingga mudah saja untuk diperlakukan semena-mena. Sebagai Pembantu Rumah Tangga disiksa sebagaimana majikan menghendakinya, sebagai buruh dipaksa bekerja tanpa upah yang memadai. Jika melihat perjuangan mereka yang rela jauh dari keluarga serta perannya dalam menyumbangkan devisa atau pendapatan negara di tiap tahunnya, yang mencapai US$ 7,1 miliar atau sekitar Rp 61 triliun di tahun 2010, TKI seharusnya mendapat perlindungan yang memadai. Memoratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI sampai adanya teken kesepakatan atau MoU terkait dengan jaminan perlindungan TKI merupakan langkah yang saat ini tepat untuk dilakukan oleh pejabat diplomasi Indonesia disertai dengan peningkatan standar kualitas TKI oleh menakertrans, BNP2TKI serta perusahaan pengiriman TKI.

Pesan Untuk Kalian Semua




Buat yang tercinta teman-temanku aksel SMANSA SKH angkatan 5, Sang Pengejar Matahariku dan Sobat baruku, Pelangi Jakarta, kalian harus denger ceritaku hari ini (maksa ya?? Enggak kaann? hehe)

Sang Pengejar Matahari-ku (Pelangi Jakarta baca dulu aja yaa n stay cool ^_^), aku kangeenn banget sama kalian, jika diingat lagi, tiap detik dengan kalian bertujuhbelas membuat perasaan bercampur menjadi satu. Kadang senang, bosan, sedih, ajaib kan kita??.

Dan sekarang, kalau diibaratkan busur panah, awalnya kita ditarik menuju satu titik pangkal kemudian dari titik pangkal itu kita melesat ke segala arah. Arahku dan arah tiap-tiap kalian yang berbeda, ke penjuru mata angin akhirnya kita berpisah (untuk sesaat).

Mengenai kesepakatan itu, jika tak mau dibilang janji, bahwa kelak kita akan dipertemukan di masa kita berada di puncak kesuksesan. Semoga bisa segera terwujud yaa.. Dengan cita-cita masing-masing kita, yang memberi manfaat bagi sesama, sukses lahir dan batin yang ga cuma sukses materi aja tentunya.. Itulah tujuan bersama kita, yang semakin memperjelas bahwa kita tidak pernah berpisah. Mengutip pernyataan teman. awal bertemunya kita bukanlah kebetulan melainkan ada maksud dan kehendak baik dari Allah sehingga membuat kita bertemu, pasti ada yang spesial. Sudah menemukan? Jika belum, yuk cari apa yang spesial dari pertemuan kita itu ;-)
Ya, pertemuan kita, jika kata salah seorang teman, masing-masing kita membawa seuntai benang, warna-warni, ada yang merah, hijau, ungu, cokelat, kuning, warna kita saat itu. Kemudian kita mulai merajut, dan perpisahan ini, kalian yang di Surabaya, Semarang, Jogja, Solo, Jakarta, merupakan sebuah fase merajut kita, inilah fase dimana rajutan kita akan mulai menampakkan keindahannya, banyaknya motif baru, karena pengalaman yang bertambah, wawasan yang semakin luas, karena semakin tahunya kita akan nikmat Tuhan. Dan rajutan benang kita, yang kita awali bersama akan nampak pada hari itu, dimana kita akan bertemu nanti, apakah indah atau ada cacat.

Kemudian teringat akan kapsul waktu itu, bahkan sampai sekarang deg-degan sekali aku jika teringat rencana kita untuk membukanya. Semoga Allah masih memberi waktu bagi kita sampai hari itu. Meski lupa apa yang aku tuliskan, dan mungkin demikian halnya dengan kalian, aku yakin pasti ada hal spesial, ada doa spesial yang kalian goreskan di lembaran kertas itu. Terlebih jika mengingat proses kita membuatnya, siang itu, di rumah bernuansa Joglo Jawa itu (rumah siapa ya??) dengan seragam kotak-kotak putih itu dan dengan semua dokumentasi kala itu. ah, membuat butiran air mata saja hal itu, sungguh aku merindukannya.

Sang pengejar matahari, aku yakin kalian tak akan pernah bosan memandang album kita selama dua tahun bersama, berdelapanbelas dalam incubator akselerasi yang semoga membuat kita banyak belajar, banyak merefleksi diri, apa kekurangan yang seharusnya kita perbaiki dan apa kelebihan yang harus kita tingkatkan. Berdelapanbelas dengan berbagai rasa di dalamnya, bahkan mungkin nano-nano pun tak cukup merepresentasikan kita. Ga cukup manis, asam, asin aja kan. Seorang guru disini berkata, dalam menerima orang lain kita harus menerimanya satu paket, dengan baiknya, buruknya, kelebihan dan kekurangannya. Dan Kita bisa menerima masing-masing kita dengan berbegai komponen penyusunnya bukan? Di satu hari itu, buka-bukaan rahasia antara kita (atau kalian ya tepatnya? Hehe)

Satu ceritaku hari ini, aku merasa Allah begitu sayang padaku. Di saat harus berpisah sementara dengan kalian, yang untuk bertemu muka pun mungkin hanya bisa setiap semester sekali dan itupun tidak semua dari kalian. Allah sengaja membuatku untuk tak pernah bisa sedetikpun melupakan kalian. Aku perkenalkan bahwa aku punya sahabat-sahabat yang jika aku melihat mereka seolah aku berada di antara kalian. Di sini aku punya Pelangi Jakarta. Bukan membandingkan, hanya ingin memperkenalkan, hanya ingin bercerita, bukan juga memayakan keberadaan teman-teman yang sekarang bersamaku, bukan menyemukan mana Sang Pengejar Matahari serta mana Pelangi Jakarta, karena bagaimanapun kalian berbeda ruang saat ini, berpisah jarak dan memang Sang Pengejar Matahari bukanlah Pelangi Jakarta ataupun sebaliknya(ribet yach??).

Pelangi Jakartaku yang luar biasa, catatan menjelang satu tahun bersama (meski nama pun baru tercetus beberapa hari lalu) telah mengisi ruang terdalamku dengan apa yang dinamakan keikhlasan, tanggung jawab, idealisme, persaudaraan, kasih sayang yang penuh dengan dinamika. Kita datang dengan warna kita masing-masing, dari budaya, bahasa, karakter masing-masing, kini berada bersama dalam satu naungan bersama. Meski awalnya kita dipaksa untuk bersama tapi kita sendiri jugalah yang memilih untuk bersama, ya kan?(kalau bingung bisa ditanyakan kok ^_^). Aku perkenalkan pada kalian tentang Sang Pengejar Matahariku, yang jika bersama kalian, kenapa yaa, piringan hitam di otakku berputar, terbesit momen-momen di ratusan hari yang lalu yang serupa dengan apa yang aku rasakan saat duduk dan berbincang dengan kalian.

Pelangi Jakartaku yang hebat, yah tidak masalah kan jika kalian tahu tentang sedikit celah di masa laluku, sedikit tahu tentang kenangan terindah di hari kemarinku, tentang orang-orang hebat yang menemaniku di hari-hari yang lalu?
Karena aku percaya akan ketulusan hati kalian, akan prasangka baik yang selalu kalian coba untuk tanamkan dalam diri kalian, sehingga aku memutuskan merangkai kalimat demi kalimat di sela waktuku ini, untuk berbagi, untuk semakin memperkuat usahaku bahwa memang benar, aku hanya ingin bisa dekat dengan kalian, aku ingin mempunyai teman, aku ingin keberadaanku memberi warna yang bisa memperindah hari-hari kalian.
Terimakasih atas kesempatan yang kalian beri untukku menjadi bagian dari fase kehidupan kalian. Fase perjuangan dalam meraih mimpi yang kalian gantungkan. Terimakasih telah membuatku banyak belajar, tentang kehidupan, tentang cita-cita, tentang usaha, tentang optimisme, tentang berbagi, tentang empati, tentang saling memahami, tentang bagaimana menurunkan ego, tentang tanggungjawab yang harus dipikul bersama, tentang instrospeksi diri, tentang merendahkan hati, tentang sesuatu yang baru aku kenal maknanya akhir-akhir ini, tentang ukhuwah.
Dan semoga Allah masih berkenan memberikan kesempatan bagiku untuk banyak belajar dari apa yang ada di sekitarku, dari kalian di esok, lusa dan seterusnya. Untuk menyambut hari dimana aku akan bertemu dengan Sang Pengejar Matahariku dan memperkenalkannya secara langsung dengan kalian. Bersama mewujudkan tujuan memberi manfaat bagi semesta.

Sungguh ini bukan ungkapan kegalauan sesaat, bukan omong kosong yang tak bermakna, bukan hasil dari kegundahan hati, semoga bukan suatu ungkapan yang sia-sia, dan tentunya bukan secara kebetulan aku menulis ini. Tapi inilah hasil dari proses belajar, sebuah pemikiran, dari pengalaman dan pemvisualisasian dari apa yang dinamakan rasa. Aku mempunyai sesuatu berharga dalam hidupku, Sang Pengejar Matahari-ku dan Pelangi Jakarta-ku. Yang membuatku tak punya alasan untuk tidak bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya.

Pelangi Jakarta dan Sang pengejar Matahari, Aku adalah aku yang dengan caraku sendiri ingin menjadi lebih baik (sering sekali aku mengucapkannya). Mohon maaf atas setiap detik yang berlalu dengan penuh kesalahan yang aku perbuat, mohon bimbing dengan kritik dan teladan yang baik. Semoga Allah menjaga persaudaraan kita dan mempertemukan kelak di tempat terindah-Nya.


Bom Buku dan Negative Emotional Hijacking

Hari itu Selasa 15 Maret 2011 kediaman Ulil Abshar Abdalla, Ketua Jaringan Islam Liberal dikejutkan oleh sebuah paket buku yang tak biasa. Di hari yang sama kejadian serupa juga menimpa kediaman ketua BNN Komjen Pol Gorries Mere dan ketua Umum Pemuda Pancasila Japto S. Soerjosoemarno Paket mencurigakan yang beberapa minggu ini kita kenal sebagai bom buku. Bom buku yang telah mengakibatkan salah seorang anggota kepolisian di Jakarta Timur cidera di salah satu tangan akibat ledakan yang ditimbulkan dalam pangamanan paket mencurigakan tersebut. Kemudian kita mendengar adanya paket buku berjudul Yahudi Militan yang dialamatkan kepada Ahmad Dhani, presiden Republik Cinta Management sekaligus seorang musisi terkenal di Indonesia.
Agaknya bom buku telah menjadi tren baru dalam mendisturb kenyamanan dan ketenangan di tengah masyarakat. Menciptakan peluang bagi masyarakat terutama para otoritas untuk berpendapat mengenai hal ini, tentu dari sudut pandang yang berbeda-beda. Pendapat yang mencerdaskan namun bisa juga menimbulkan pertentangan. Suatu hal yang biasa namun tak bisa untuk terus dibiasakan jika pendapat tersebut berasal dari negative emotional hijacking alias pengambilalihan fungsi neokorteks untuk berpikir oleh amigdala dalam proses decision making sehingga seringkali keputusan dalam mengahadapi stimulus didominasi oleh emosi sesaat tanpa memikirkan dampak ke depannya. Negative Emotional Hijacking juga sering terjadi pada mereka yang merespon pendapat orang lain, jika tak sesuai kehendak dilakukan penolakan yang lagi-lagi tanpa mempertimbangkan multiplier effect dalam masyarakat.
Tanggal 21 Maret lalu kita mendengar pernyataan dari Nasir Abas yang dimuat di beberapa surat kabar bahwasanya motif dari adanya bom buku tersebut adalah motif agama, terbukti dari sasaran bom tersebut yang berasal dari tokoh liberal yang dinilai mencemarkan citra islam, seorang tokoh densus 88/antiteror serta seorang tokoh Pancasila, para aktivis kebanyakan anti-pancasila menurut mantan Ketua Mantiqi struktur JI tersebut . Lain tokoh lain pula pendapatnya, Pengamat Intelejen Soeripto barpendapat bawa kasus bom buku yang sedang marak bukan dilakukan jaringan teroris karena hanya berupa ancaman bukan eksekusi, merupakan suatu pengalihan isu terhadap kasus pembocoran informasi oleh wikileaks dan merupakan warning bagi Amerika untuk mengembalikan perhatian ke masalah terorisme. Lain lagi pendapat mantan ketua PBNU K.H. Hasyim Muzadi yang menyatakan bahwa konflik atau segala kekacauan di Indonesia yang disebabkan murni oleh motif agama hanyalah 15%. Selebihnya adalah konflik dengan muatan politik, ekonomi, kepentingan kaum profesional oportunis serta motif lainnya.
Pendapat para otoritas umumnya menjadi kiblat berpikir masyarakat. Jika pendapat yang disampaikan merupakan salah satu negative emotional hijacking maka yang tercipta bukan pencerdasan melainkan pemberian informasi “sesat” yang membatasi kemampuan berpikir objektif masyarakat. Indonesia beragam dalam suku, golongan, ras, agama,serta kebudayaan yang rentan akan konflik walaupun dengan pemicu yang sederhana. Pendapat yang objektif, kredibel dan lepas dari unsur SARA dapat menjadi sarana menjaga kondusivitas keberagaman dan memberikan solusi terhadap masalah yang menimpa Indonesia seperti bom buku tersebut. Waspada harus tetap diwarningkan bagi seluruh lapisan masyarakat di samping adanya tindakan dari kepolisian melacak pelaku tindakan onar tersebut. Dalam mengolah informasi masyarakat pun seharusnya tak cukup dari satu sumber, mencari sumber lain untuk melengkapi informasi, memandang konflik yang ada di masyarakat dari berbagai sudut pandang untuk mendapatkan penilaian yang objektif. Karena konflik suatu negara harus diselesaikan bukan justru menimbulkan konflik baru. Termasuk dalam menilai kasus bom buku. Penilaian objektif berbagai pihak akan meminimalisasi terjadinya konflik berkelanjutan.

Renita Putri Maharani
Mahasiswi Fakultas Psikologi UI
Penerima Beastudi Etos Jakarta
Peserta Student Development Program Universitas Indonesia

Mencintaimu dengan Sederhana, Hanya Sederhana


Bukan puisi yang aku rangkai untuk menyatakan indahnya rasaku padamu.
Bukan sikap yang senantiasa halus dan setuju dengan setiap yang kamu katakan dan kamu lakukan.
Bukan pula dengan sikap selalu mengatakan iya dengan apa yang kamu minta, atau mengulum senyum di setiap langkah yang kamu tempuh.
Mungkin dengan pembawaanku yang tegas dan keras yang membuatmu segan mendekat.
Mungkin dengan terlalu serius dan kaku ekspresiku membuatmu enggan menghampiri hatiku.
Kekurangpedulian yang mungkin tampak dari diriku yang membuatmu semakin menjauh.
Atau karena banyaknya permintaanmu yang selalu aku anggap sebagai rengekan kegalauan hingga selalu kucari alasan untuk mengatakan tidak.
Atau waktu yang selama ini seolah tak pernah aku luangkan untukmu
Jika kau mau, lihat sedikit lebih dalam ke diriku
Aku sediakan pundak untukmu bersandar dalam kelelahan,
Aku berikan telinga tanpa bayar untuk mendengar keluhanmu
Mendengar ceritamu, baik dikala kau bahagia atau bersedih
mendengar mimpi yang kau ucap, apa yang menghambat
Aku bersedia menangis bersamamu, meluapkan segala rasa yang menyesakkan
Tulus aku coba untuk menerimanya

Mungkin solusi yang kau harapkan belum bisa aku berikan,
ketahuilah bahwa ingin rasanya aku bisa menyelesaikan setiap masalah yang menimpamu
dengan ilmuku, pengalamanku, dengan saran dariku
Tapi aku, aku pun punya sakit dari luka yang dalam
yang selalu aku coba untuk menutupnya rapat-rapat
Kemudian aku refleksikan, jika aku beri nasihat padamu,
Aku malu, malu sekali
kemunafikan apa lagi yang aku lakukan