Minggu, 23 Oktober 2011

99+ untuk NKRI

Oktober telah berkepala dua, artinya bulan ini akan segera berlalu. Cepat ya? Secepat setiap episode kehidupan yang malang maupun senang berlalu, secepat berakhirnya masa beradanya insan di dunia, secepat kita harus bergerak untuk memberi manfaat. Secepat berlalunya ISLC, Indonesia Student Leadership Camp. Suatu program pelatihan kepemimpinan bagi seratus ketua OSIS se-Indonesia. Enam hari yang cukup membuat gejolak emosiku berkali-kali membentuk puncak dan lembah, naik turun, tinggi rendah. Enam hari bersama mereka yang berani memilih, memilih untuk bergerak demi Indonesia lebih baik. Naif jika kubilang event ini biasa saja, bodoh jika kubilang semangat mereka hanya anget-anget tahi ayam. 99 pemimpin muda yang telah memutuskan sebuah hal besar terjadi di usia mereka yang masih belia, deklarasi 99 dan Forum Osis Nusantara. Plus beberapa orang yang dengan sepenuh hati berusaha untuk menyelenggarakan acara ini, yang jika dipikir, apa sih yang mereka dapat dari pengorbanan menjadi panitia? Capek, rugi waktu, rugi uang dan rugi tenaga?

Ini mengenai passion. Mengenai idealisme dan mimpi. Mengenai strategi, suatu langkah untuk “Berani peduli”. Anis Matta dalam pidatonya “Bangsa kita ini tidak akan tegak hanya dengan pikiran, keringat, dan darah satu orang. Indonesia membutuhkan 100 orang tim impian ” atau Bung Karno “Beri aku seribu orang tua, maka akan aku cabut Semeru dari akarnya, beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”. Secercah harapan untuk menjawab tantangan zaman, kapan Indonesia maju. (Mm, sepertinya untuk sekarang belum membahas kapan Indonesia maju.) Sedikit ralat à Secercah harapan untuk menjawab pertanyaan kapan Indonesia bangkit dari kelaparan padahal Indonesia negara yang kaya, kemiskinan, kebobrokan moral karena budaya korupsi, pendidikan dan kesehatan yang sangat jauh dari layak, kerusakan lingkungan hidup, ataupun persoalan tata kelola negara dan integritas bangsa. Ini mengenai passion, gairah untuk memberikan pencerahan generasi muda tentang ‘That’s my Indonesia’, gairah untuk memfasilitasi ‘what should I do?’, gairah untuk mengajak lebih banyak lagi rakyat Indonesia untuk berpikir dan mencari solusi untuk negerinya. Gairah untuk berbagi nilai cinta tanah air, dan Idealisme.

ISLC UI 99

Idealisme, in Psychology we know about ideal self dan real self. Maka ISLC sangat mengenal ‘the ideal Indonesia’ serta analisis mengenai the real Indonesia sebagai catatan keprihatinan yang sangat dipahami bahwa hal tersebut hanya akan menjadi sebuah wacana ketika tidak ada tindakan nyata. Bahwa jika bukan kita generasi muda yang bergerak, siapa lagi? Idealisme untuk secara jelas mendikotomikan antar hitam dan putih, untuk merealisasikan perkataan Soekarno di atas, untuk bertindak dan bukan sekedar menjadi kaum parokis atau mereka yang selalu menempatkan diri di zona nyaman karena mau aman atau bahkan mereka yang sama sekali tidak sadar, tidak peduli akan Indonesianya. Idealisme yang berkata bahwa “Betapa inginnya kami agar bangsa ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri”

Ini adalah bicara mimpi. Mimpi bahwa Indonesiaku tanah surga tak hanya di dalam lagunya Koes Plus, bahwa Indonesia Raya tidak hanya bergema ketika peringatan Ulang Tahun RI setahun sekali, melainkan bergema di setiap jiwa bangsa Indonesia, bergema seiring rasa cinta yang semakin dalam terhadap tanah air, yang kemudian rasa cinta itu terinternalisasi dalam unconscious rakyat Indonesia menjadi sebuah faktor internal untuk berbuat demi Indonesia, untuk Indonesia, atas nama Indonesia. Dan mimpi kami, “Aku hanya membayangkan suatu saat, Aku jadi titik yang memandang besarnya negeri ini, di tangan para pemuda yang bermimpi besar. Lalu aku menjadi titik yang menatap kayanya bangsa ini, di genggaman pemuda yang kaya akan cintanya pada negeri. Dan aku jadi titik yang memandang kagum cerdasnya anak-anak pertiwi. Kami ingin menjadi titik kejayaan bangsa!” Dan kamilah yang punya passion itu, yang idealis itu, yang punya mimpi itu. 99+ untuk NKRI.

Indonesiaku Damai: Mengenali untuk Menjadi Cinta



Ban66a menjadi Indonesia marak kita lihat di berbagai jejaring sosial dan media memperingati Hari Ulang Tahun Indonesia Agustus lalu. Rangkaian huruf yang membentuk kata bangga tersebut diselipkan dua kali angka enam yang menunjukkan umur negara kita yang sudah begitu matang. Enam puluh enam tahun Indonesia merdeka sejak diproklamirkan oleh seluruh bangsa Indonesia yang diatasnamakan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta. Usia yang  jika dimiliki oleh manusia maka ia telah menjalani kehidupannya cukup lama, mungkin ia telah mencapai kesuksesan membangun kehidupan di dunia, waktunya istirahat menunggu datangnya perjalanan menuju kehidupan selanjutnya. Namun tidak bagi Indonesia, negara kaya ini pun bahkan masih belum cukup umur untuk dikatakan mandiri. Indonesiaku, menangis di kala berbagai persoalan pelik membadai. Korupsi, penyuapan, kemiskinan, kriminalitas, kekerasan, konflik sosial dan banyak persoalan lain yang semakin bertumpuk dengan penyelesaian yang dangkal. Sekali lagi, kita mendengar istilah radikalisme, terorisme, konflik antar suku maupun agama menjadi headline di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Peristiwa bom bunuh diri di sebuah gereja di kota Solo yang dikaitkan dengan kasus pengeboman sebelumnya. Suatu kenyataan yang membuat kita mendesah kasihan, “Indonesia malang sekali kamu, berperang dengan rakyatmu sendiri”. Istilah yang tepat ketika pada realita ditemui berbagai tindakan perusakan dilakukan di sana sini, pada infrastruktur maupun hukum dan kehidupan sosial.
Sebuah rintihan yang tak berarti jika hanya berakhir sebagai sebuah rintihan. Indonesiaku harus bangkit, harus selesai dengan permasalahannya, termasuk stabilitas nasional. Tak pantas negara yang besar mempunyai konflik internal yang tak kunjung selesai. Apalagi Indonesia mempunyai mantra mujarab Bhineka tunggal Ika, Walaupun berbeda tetapi tetap satu juga. Indonesiaku damai, mengenali kembali kearifan lokal, budaya dari leluhur yang mengajarkan hidup damai, guyub rukun dalam istilah Jawanya, budaya gotong royong, atau sebuah kata bijak “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Mengenali sejarah Indonesia, semangat bambu runcing yang tak berarti apa-apa tanpa adanya rasa kebersamaan, pengorbanan jiwa dan raga untuk mencapai sebuah kebebasan. Sedini mungkin pengenalan menjadi sebuah kewajiban untuk diberikan kepada setiap rakyat Indonesia melalui pendidikan dalam keluarga, masyarakat, maupun sejarah dan filsafat. Sejarah yang tak hanya rangkaian kronologis, filsafat yang tak hanya menghafal nama tokoh tetapi mempelajari setiap nilai, dipahami, diinternalisasikan dalam setiap aspek kehidupan. Sebagaimana penginternalisasian nilai samurai di kebudayaan Jepang. Dengan mengenali, cinta tanah air tak lagi sulit ditemukan pada setiap rakyat Indonesia. Rasa cinta yang akan membentuknya menjadi pribadi rela berkorban untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk menciptakan Indonesia yang damai, untuk berani peduli terhadap bangsanya, untuk menjadi bangga dengan ke-Indonesiaannya, menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas, perdamaian bangsa, untuk menjaga dan mencintai Indonesia sebagai sebuah anugerah luar biasa.
Dan Indonesia yang damai, Mengapa tidak? Aku kenal maka aku cinta, aku cinta maka akan aku jaga.

The Nightmare and Delussion

Dia datang lagi, dia dan dia. Mereka dengan mata merah dan wajah pucatnya, teriakannya yang menggema, entah darimana mereka datang. Dan, tempat apa ini? labirin dari lorong waktu yang berputar dengan kecepatan 300 m/s membawaku ke dalam sudut gelap. Terpojokkan, mereka menyerangku, meneriakiku, mengolokku, “Hei, kau tak akan sanggup membersamai mereka, kau terlalu bodoh, terlalu malas, terlalu banyak pertimbangan, kolot, lama, tolol, gegabah, ceroboh, tidak kritis sama sekali! Mereka akan segera bergerak cepat meninggalkanmu, dan kau? Haha, terduduk dengan muka pengen, gigit jari macam bocah pengen permen. Kau tak berguna, mendinglah segera pergi! Pergi selamanya dari dunia ini. Pergi ke lantai empat gedung ini, terjun! Itu akan lebih baik untukmu daripada kau hidup selalu saja menyusahkan orang lain!”

Tidaaaakkk!!!, huuh!. Teriakanku tak sanggup mengalahkan gelegar tawa mereka. Tiba-tiba dari sudut 45 derajat timur lautku muncul sesosok tubuh yang sangat aku kenal, berteriak, “Camping gimana ini Re, Gue ga mau tau ya, yang jelas itu event musti kelar tepat waktu!” Dengan wajahnya yang tampak jauh lebih beringas dari biasanya, mata itu menatapku tajam, teriakannya, membuatku ngilu. Takut, ya, aku takut melihatnya. Kemudian lenyap bersama hembusan angin kencang dari arah belakangku, suara itu, tawa gadis-gadis itu memekakkan telingaku. Kutengok ke belakang, mereka, gadis-gadis itu kenapa tampak begitu liar, rambut mereka acak-acakkan, tawanya tak ada sopan santun sama sekali, cekakakan seperti orang gila, mengahampiriku, hendak mencengkeram lenganku kemudian terbang lagi sebelum meraihku, aku tahu siapa mereka, tapi kenapa seperti ini, ada apa dengan orang-orang ini, seseorang yang sangat aku kenal di antara mereka kemudian berteriak dengan kencangnya “Hei anak manja, ini tutoring mau dibawa kemana? Lu jangan nyusahin kita yang ada di sini!” Teriakannya nyaris membuat gendang telingaku pecah, tawa mereka kembali menggelegar, tangan-tangan mereka seolah hendak meraihku, menarikku, mereka semakin mendekat, dan benar saja, mata gadis yang meneriakiku tadi berpapasan dengan mataku, pupilnya merah menyala penuh kemarahan, aku tercengang, tak tahu lagi apa yang terjadi, tiba-tiba ada gulungan asap hitam yang membuat mataku perih, kabur, mata itu sudah tidak ada, tapi gulungan asap ini membawaku kesana kemari, terseret arus, terpental dari satu sisi dinding ke sisi dinding yang lain, bak tornado dengan bau yang menyengat menyesakkan dada, perlahan pergi ke langit gelap itu, aku pun tersungkur. 

Kali ini datanglah rombongan orang-orang yang sangat aku kenal, dengan memicingkan mata akhirnya aku lihat teman sekelompokku, datang dengan penuh kemarahan, dan berteriak seolah sedang orasi, mendemo-ku “Hei Kau! Ingat proyek kita, bodoh kau! Ini tanggung jawab pada rakyat. Kau jangan jadi benalu buat kami!” Kemudian hilang begitu saja. Terbang melebur menjadi sebuah benda tipis warna putih kemudian jatuh di sekelilingku, satu persatu dengan coretan merah, bahasa yang tak aku mengerti, kemudian dari benda yang baru kusadari sebagai kertas itu muncul angka-angka dan alfabet, bergerombol, banyak, bak tawon keluar dari sarangnya, dengan kaki-kaki dan sayap menjijikkannya, mengejarku, menyerangku, berkata “Hei, jadikan kami bagian terbesar dalam hidupmu, Bodoh! Tugasmu hanya membersamai kami di setiap waktu tapi kau selalu sok hebat, sok sibuk. Sekarang nikmati sakitnya kemarahan kami!”. Kubayangkan bahwa nyawaku akan melayang detik itu juga bersama bisa beracun yang mengalir dari tanda sigma, o umlaud, SS yang mewakili standar deviasi, huruf A, B, C, Z dan kawan-kawannya tersebut, bayangan mengerikan itu membuatku lemas, tak tahan lagi. Tubuhku tertelungkup, tersungkur.

Sayup-sayup kubuka mata, kulihat mereka, orang-orang tak kukenal itu perlahan berjalan ke arahku, dengan pakaian putih-putih, wajah mereka pucat, seseorang menghampiriku, berbisik “Re, asrama butuh kedatanganmu, senyum ceriamu, obrolan manis kita”. Sayup-sayup suara itu begitu damai, mataku tak sanggup melihat dengan sempurna, kunang-kunang, sejenak alunan nada yang entah darimana bersama angin semilir menyentuh luka-luka di tangan, wajah dan kakiku, kemudian berlalu, sepi. Kubenamkan wajahku ke tanah, aku bingung. Dan sekali lagi, tangan lembut menyentuh bahuku, mendekat ke arah mukaku, aku tak mengenali wajah itu, mataku semakin tak bisa membedakan garis antara hidung, mata dan mulut, mataku tak bisa melihat, hanya seberkas cahaya putih yang terlihat, ia membisikiku “Nak, luangkan waktu sejenak untuk sekedar membalas pesan SMS dan mengangkat telepon itu, Ibu merindukanmu Nak, Ibu tidak bisa jauh darimu”. Setitik cairan dingin jatuh ke lenganku. Kemudian kurasakan tangannya memegang tanganku yang lemas, tangannya begitu lembut, namun dingin, dingin sekali. Tiba-tiba kurasakan tanah tempatku berdiri bergoncang, semakin kuat, membuat dinding-dinding di sekitarku runtuh. Wanita itu tetap memegang tanganku, aku merintih, mencoba bangkit, namun sia-sia. Perlahan tanah didepanku mulai retak, guncangan itu semakin kencang, semakin kurasakan hidupku benar-benar tinggal beberapa detik lagi. kurasakan tangan itu menggenggamku kuat, kemudian tertarik, tanah retak di depanku membuat kami terpisah, seperti magnet yang tertarik di kedua kutub yang berbeda, genggaman itu, bersama tanah yang semakin retak akhirnya lepas. Guncangan itu semakin kuat, dinding-dinding hampir semuanya telah runtuh, retakan tanah semakin melebar, sejengkal lagi retakan itu akan sampai di tubuhku, mencoba untuk lari tapi tak ada daya, akhirnya retakan itu kurasakan dari ujung badan atas sampai bawah, membuatku berada di tengah-tengah belahan tanah sebelah kiri dan kanan, tanah-tanah itu tak bisa lagi menopang tubuhku, di sebelah kananku, tanah itu semakin bergerak ke kanan, begitu pula tanah yang menopang tubuh bagian kiriku, semakin ke kiri, aku pun melayang, tak ada yang menopangku. Kulihat jurang di bawahku sebagai perjalanan yang amat lama, mengerikan, gelap, bebatuan di sana sini, api yang menyala-nyala. Dan akhirnya, gedebug!!! Tubuhku menabrak sebuah benda keras, membuatku meringis sakit. Hmm, ternyata ubin kamar. Kucoba untuk bangkit, ku ingat satu persatu. Nightmare! Panas rasanya hembusan napas ini, lemas rasanya tubuhku, sakit, bibirku perih dan kering, mataku sakit. Kuingat sedapatnya, kulihat tumpukan buku di meja itu dan kertas-kertas di ranjangku, tugas untuk dikumpulkan esok hari. Huh!!. Tubuhku semakin lemas, panas itu kini menjalar dari ujung kepala sampai ujung jari kaki. Aku pun tersungkur, kembali membentur ubin kamarku, COLLAPSE!!