Selasa, 29 Mei 2012

Refleksi Etoser Tingkat Akhir



Mahabbah adalah kejernihan cinta, ia adalah kekuatan, ketinggian, dan besarnya keinginan hati kepada yang dicintai. Karena pertautannya dengan yang ia cinta dan inginkan. Mahabbah adalah keteguhan keingingan kepada yang dicinta. Ia adalah kehendak untuk selalu bersama, dan keengganan meninggalkannya agar sang pencinta bisa memberikan hal paling berharga yang dimilikinya pada yang dicintainya. Yakni hatinya (Ibnul Qayyim Al Jauziah)
Mungkin hatiku memang sudah sedemikian dalamnya terpaut pada komunitas ini, tak peduli berapa banyak orang di luar sana yang akan berkata betapa sempitnya pikiranku, betapa berlebihannya sikapku atau apalah yang aku tak akan pernah mempedulikannya. Setulusnya rasa terimakasih menjadi awal semuanya, ketika berbagai ketidakmungkinan mampu aku patahkan, ketika berbagai ketakutan dan kekhawatiran terjawab dengan satu pesan, “Selamat anda diterima di beastudi Etos”. 

Hari itu, 17 Agustus 2010 sampai hari ini 27 Mei 2012. Bukan waktu yang singkat ketika aku harus belajar berbagai hal yang benar-benar baru, ketika aku harus percaya pada personal adjusmentku bahwa aku mampu menyesuaikan diri, ketika perlahan-lahan aku harus meruntuhkan benteng-benteng egois dan keras kepala yang selama ini terpatri sebagai perlindungan di dalam hati. Ketika aku harus memahami sistem yang sulit aku mengerti mengapa harus begini dan mengapa harus begitu, mempelajari karakter belasan anak manusia yang berasal dari berbagai latar belakang pola asuh orang tua dan pola asuh lingkungan, mempelajari untuk kemudian memahami, yang bahkan sampai hari ini masih terus belajar memahami dan mencoba menempatkan diri di antara mereka. 

Namun waktu satu tahun sembilan bulan ini bukan waktu yang lama ketika aku menyadari bahwa sisa waktuku di sini tak lebih banyak dari waktu yang telah aku lewatkan, ketika hati-hati mulai terpaut oleh rasa saling memiliki. Ketika rasa cinta yang dulu aku sangsikan akan aku miliki kini telah memenuhi sebagian ruang dalam hati. Ketika aku menyadari bahwa masaku di sini akan segera berakhir, dan bayangan bahwa kelelahan-kelelahan yang membahagiakan itu tak lagi dapat aku rasakan di sini seperti hari-hari kemarin, di saat aku menyadari bahwa waktuku untuk memberikan pengabdian terbaik tinggal beberapa bulan lagi sementara sampai hari ini aku belum mampu memberikan apa-apa. Maka apalagi yang bisa aku berikan jika bukan hati ini.

Suatu paradoksal ketika hati mulai bicara mengenai cinta, cinta mendalam dengan lingkungan ini, suasana dalam komunitas ini, berbagai kegiatan yang lalu, dengan orang-orang di sini, dengan sistem komunitas ini namun aku tak mampu menjadi salah satu orang yang dimaksud dalam visi berdirinya komunitas ini “Terdepan dalam membentuk sumber daya unggul dan mandiri”. Rasanya ingin melontarkan rutukan, makian, cacian membodoh-bodohkan diri ini. Betapa banyak waktu yang aku sia-siakan selama ini, puluhan kesempatan yang aku telah lewatkan, usaha yang sangat melelahkan namun tak kuiringi dengan doa terbaik hingga tak membuahkan hasil yang diberkahi-Nya, tekad yang belum sekeras baja, pemberontakan-pemberontakan masa itu yang kini aku sadari sebagai tindakan parokialku yang sangat- sangat bodoh. 

Dan dalam dekapan ukhuwah kita menginsyafi bahwa sebagaimana kemampuan memimpin, kemampuan menjalin hubungan adalah juga paduan dari kecenderungan dan pembelajaran (SAF). Betapa banyak tutur, ekspresi dan tingkah laku dalam kebersamaan yang menimbulkan goresan luka di bagian paling sensitif, hati kalian. Betapa banyak senyum getir makna kesal, dengki, benci, buruk sangka dan perkataan yang tak pantas yang mungkin sampai hari ini masih menyisakan luka menganga di hati kalian. Berbagai kesalahpahaman yang entah kapan bisa terselesaikan. Sungguh aku tak ubahnya manusia hina yang impulsif dan belum sempurna dalam mengendalikan diri. Namun bencilah kesalahanku, jangan membenciku. Karena dalam persaudaraan, kelembutan nurani memberi kita sekeping mata uang yang paling mahal untuk membayarnya, di satu sisi mata uang itu bertuliskan “akuilah kesalahanmu” dan sisi lain berukir kalimat “maafkanlah saudaramu yang bersalah”.

Masih ada waktu sampai Juli 2013 berakhir, ketika hasil SNMPTN dan pengumuman tahap akhir beastudi Etos menghadirkan generasi baru Etos Jakarta angkatan 2013. Waktu yang akan terasa sangat cepat ketika kita kembali bergumul dengan dunia kampus yang menguras tenaga, dengan berbagai kegiatan finansial serta kegiatan bersama untuk masyarakat yang menjadi ciri khas kita. Dan apa resolusi kita untuk satu periode ke depan? FAS? OKE Jakarta 2012? TOENAS 2013? Seleksi Etos 2013? BEE 2012-2013? Itu suatu kontribusi yang niscaya. Yang aku ingin adalah terhapusnya paradoks ini. Ketika kecintaan dengan Etos mampu dibuktikan dengan pengabdian terbaik, ketika pelajaran menjalin hubungan akan terus dipelajari, ketika kita mampu mempersiapkan diri menuju akhir program dengan khusnul khotimah. Ketika kehidupan pasca Etos merupakan pembuktian keberhasilan program, ketika hati ini dengan setulusnya hendak memberikan yang terbaik. Maka ingin rasanya kita dapat menyatukan hati, saling menguatkan untuk memberi pengabdian terbaik, untuk menyatakan cinta dengan cara terbaik, dan aku membutuhkan bantuanmu, kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar