Kamis, 14 Juli 2011

TKI Riwayatmu Kini


Renita Putri Maharani/ Mahasiswi Fakultas Psikologi UI
Penerima Beastudi Etos Jakarta

Terhitung sejak tanggal 18 Juni 2011 lalu, berbagai media gencar memberitakan eksekusi mati Tenaga Kerja Indonesia asal Kampung Ceger RT 003/01, Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang dijatuhi hukuman pancung di Arab Saudi atas kasus pembunuhan terhadap majikannya Khairiyah Binti Hamid Mijlid. Berbagai opini dan sanggahan pun muncul menimbulkan arah pemberitaan yang beraneka ragam, mulai dari pemerintah yang kecolongan karena mendapat kabar pasca eksekusi, perlindungan terhadap TKI yang kurang optimal, tuntutan DPR kepada menteri Luar Negeri untuk mundur karena dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah diplomasi terkait TKI, banyaknya kecaman terhadap Arab Saudi dan lain sebagainya.

Tercatat tiga TKI yang telah dieksekusi mati atas kasus hukum yang menjeratnya. Dua orang dieksekusi di Arab Saudi, satu yang lain dieksekusi di Mesir (Republika, 22 Juni 2011). Saat ini masih terdapat 216 TKI yang masih berkutat dengan persidangan demi persidangan tersebar di Arab Saudi, Malaysia, beberapa di Singapura dan Suriah atas kasus pembunuhan dan narkoba. Duapuluh empat dari duapuluh delapan TKI bermasalah di Arab Saudi terlibat kasus pembunuhan yang sewaktu-waktu nasibnya bisa saja sama dengan Ruyati.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa TKI sampai melakukan tindakan pembunuhan? Terdapat jawaban karena mereka membela diri atau tidak sanggup menghadapi siksaan demi siksaan yang dialami oleh majikannya. Mengapa majikan sampai menganiaya? Hal inilah yang mempunyai berbagai alternatif jawaban. Mulai dari standar kinerja yang mereka tetapkan terlalu tinggi bagi TKI, banyak TKI yang hanya bermodal bahasa Inggris apa adanya dan skill yang kurang memadai, jaminan perlindungan hukum yang tidak jelas baik itu dari negara pengirim maupun negara tujuan, atau perusahaan pendistribusian TKI yang seolah-olah lepas tanggung jawab atas TKI yang dikirimnya.

Secara berulang, TKI seolah-olah selalu menjadi kaum yang jauh dari perlindungan hukum sehingga mudah saja untuk diperlakukan semena-mena. Sebagai Pembantu Rumah Tangga disiksa sebagaimana majikan menghendakinya, sebagai buruh dipaksa bekerja tanpa upah yang memadai. Jika melihat perjuangan mereka yang rela jauh dari keluarga serta perannya dalam menyumbangkan devisa atau pendapatan negara di tiap tahunnya, yang mencapai US$ 7,1 miliar atau sekitar Rp 61 triliun di tahun 2010, TKI seharusnya mendapat perlindungan yang memadai. Memoratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI sampai adanya teken kesepakatan atau MoU terkait dengan jaminan perlindungan TKI merupakan langkah yang saat ini tepat untuk dilakukan oleh pejabat diplomasi Indonesia disertai dengan peningkatan standar kualitas TKI oleh menakertrans, BNP2TKI serta perusahaan pengiriman TKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar