Jumat, 24 Agustus 2012

Tanpa mimpi, orang seperti kita (saya) akan mati


Arai geram sekali. Ia tak habis mengerti padaku
"Biar kau tahu Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!"
"Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati..."

-Andrea Hirata dlm Sang Pemimpi-

bagi saya, apa yang dikatakan Arai itu sangat sangat sangat benar. Mungkin seperti Arai dan Ikal dalam ceritanya di sang Pemimpi, saya bukan anak yang beruang yang bisa merealisasikan semua mimpi saya dengan uang, mimpi ke luar negeri itu, mimpi naik pesawat itu. Saya bukan anak jenius yang bisa dengan mudahnya lolos berbagai seleksi beasiswa, lolos berbagai perlombaan yang membuat saya bisa ke luar negeri atau naik pesawat. Saya seorang anak yang biasa-biasa saja, sungguh biasa-biasa saja, bahkan keterbatasan finansial sempat membelenggu hidup saya untuk makan, untuk sekolah apalagi merasakan berbagai kemewahan-kemewahan yang lain. Saya anak yang biasa-biasa saja tapi saya mempunyai mimpi, mimpi yang juga diimpikan oleh Arai dan Ikal, mimpi yang termotivasi dari berbagai sisi, kedua orang tua, keluarga, teman. Mimpi yang membuat kami tetap hidup sampai hari ini. Mimpi yang membuat saya masih tegak berdiri di kampus perjuangan, kampus berjaket kuning ini meski jauh dari ayah, jauh dari ibu dari adik-adik.

Saat itu, pertama kali saya memikirkan mengenai masa depan, seorang gadis kecil yang baru berusia 8 tahun, mempunyai seorang adik perempuan dan ibu tengah mengandung adik berikutnya, saat itu ibu yang sakit-sakitan, pekerjaan ayah yang tidak jelas, saat keluargaku terlilit hutang banyak, saat kemudian ayah menjadi orang lain, pergi siang pulang menjelang pagi (entah apa yang dilakukan di luar sana), semua pertengkaran itu. Saat itu saya mulai berpikir bagaimana saya bisa menjadi anak yang baik, yang bisa melepas rantai kemiskinan keluarga, yang bisa memperbaiki keluarga saya. kemudian bersemayam impian kecil dalam dada, saya harus rajin sekolah, sampai SMA, sampai kuliah untuk kemudian menjadi dosen atau pekerjaan apapun yang bisa membantu ayah dan ibu. Impian masa kecil itu,  di tengah isakan itu.

Sepertinya Allah tidak menghendaki saya lengah akan impian-impian itu, berpikir segera tuntas belajar untuk kemudian berkarya, saya putuskan mengambil kelas akselerasi, percepatan dua tahun, meski sekolah gratis di kabupaten ini tapi untuk kelas akselerasi masih harus membayar beberapa untuk keperluan ini dan itu padahal adik ketiga, keempat dan kelimaku sudah susul-menyusul lahir. kesulitan membeyar uang sekolah, cercaan tetangga yang menyangsikan mampukah ayah ibu menghidupi enam orang anak, satu perkataan yang sungguh sangat menyayat "anak enem opo arep didolke alun-alun nggo nyekolahke? (anak enam apakah akan menjual alun-alun -maksudnya alun2 kabupaten- untuk menyekolahkan)", pernyataan dari tetangga yang katanya berpendidikan namun sayang tak berkarakter. Ketika ibu harus banting tulang mencoba berbagai macam kesempatan mencari uang, ketika tagihan biaya sekolah mulai menghimpit, ketika itu saya kembali bermimpi "Ibu, pasti saya bisa membahagiakanmu, setidaknya membuat semua perjuanganmu tidak sia-sia".

"orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. Tanpa mimpi-mimpi orang seperti kita akan mati". Di fase ini, kata-kata Arai sungguh saya yakini. Di akhir fase perjuangan semasa SMA, sebuah undangan masuk salah satu universitas masih menjadi perebutan siapa yang berhak dan siapa yang paling mungkin agar tak sia-sia, sekali lagi kala itu saya dibuat menangis sekencang-kencangnya, sungguh hatiku remuk, tersayat habis, rasa hormat yang sekian lama saya tumbuhkan, seketika tumbang, kecurangan itu, pernyataan itu "coba pertimbangkn juga, di antara kalian siapa yang lebih mampu mengeluarkan biaya kuliah di sana, dan bla bla bla", membuat saya menancapkan impian saya berikutnya "Baiklah, saya mampu buktikan bahwa saya mampu kuliah di universitas itu meski bukan melalui jalur masuk yang ini" and here there are, saya berkuliah di Universitas itu, Universitas Indonesia. Sungguh tanpa mimpi-mimpi orang seperti saya akan mati

Berbagai pelajaran hidup menempa saya menjadi pribadi yang kuat sampai sejauh ini, terimakasih kepada semua orang yang pernah mendukung maupun menghina saya yang mampu menjadi cambukan-cambukan luar biasa hingga akhirnya inner strenght saya muncul (dan sampai hari ini masih selalu memcoba melunakkan hati untuk memaafkan dan melupakan namun ternyata cukup sulit, maaf _Ya Allah bantu aku_)

Dan catatan mimpi-mimpi itu sungguh masih banyak, namun kelalaian itu benar-benar membuat diri ini menyesal. "...dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu", Ya Rabb, bimbing hamba untuk senantiasa berada dalam semangat tertinggi untuk menggapai impian itu, untuk melukiskan masa depan yang indah dan bermanfaat, Ya Allah bimbing saya keluar dari kebodohan menyia-nyiakan waktu, dari otak yang  malas diajak berpikir, dari jiwa yang berburuk sangka, dari hati yang jahat. Bimbing hamba untuk senantiasa bangkit dari keputusasaan, Bimbing hamba untuk bangun dari khayalan, untuk berjuang, untuk berjuang dan terus berjuang.
Bantu hamba terbangun dari secuil keberhasilan yang melenakan ini, jangan biarkan hamba menjadi seorang munafik, jaga hamba Ya Rabb. Bantu hamba untuk bangkit, untuk menjadi hamba yang istiqomah, yang bermanfaat waktu dan usianya.
Insya Allah selalu berproses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar