Minggu, 23 Oktober 2011

The Nightmare and Delussion

Dia datang lagi, dia dan dia. Mereka dengan mata merah dan wajah pucatnya, teriakannya yang menggema, entah darimana mereka datang. Dan, tempat apa ini? labirin dari lorong waktu yang berputar dengan kecepatan 300 m/s membawaku ke dalam sudut gelap. Terpojokkan, mereka menyerangku, meneriakiku, mengolokku, “Hei, kau tak akan sanggup membersamai mereka, kau terlalu bodoh, terlalu malas, terlalu banyak pertimbangan, kolot, lama, tolol, gegabah, ceroboh, tidak kritis sama sekali! Mereka akan segera bergerak cepat meninggalkanmu, dan kau? Haha, terduduk dengan muka pengen, gigit jari macam bocah pengen permen. Kau tak berguna, mendinglah segera pergi! Pergi selamanya dari dunia ini. Pergi ke lantai empat gedung ini, terjun! Itu akan lebih baik untukmu daripada kau hidup selalu saja menyusahkan orang lain!”

Tidaaaakkk!!!, huuh!. Teriakanku tak sanggup mengalahkan gelegar tawa mereka. Tiba-tiba dari sudut 45 derajat timur lautku muncul sesosok tubuh yang sangat aku kenal, berteriak, “Camping gimana ini Re, Gue ga mau tau ya, yang jelas itu event musti kelar tepat waktu!” Dengan wajahnya yang tampak jauh lebih beringas dari biasanya, mata itu menatapku tajam, teriakannya, membuatku ngilu. Takut, ya, aku takut melihatnya. Kemudian lenyap bersama hembusan angin kencang dari arah belakangku, suara itu, tawa gadis-gadis itu memekakkan telingaku. Kutengok ke belakang, mereka, gadis-gadis itu kenapa tampak begitu liar, rambut mereka acak-acakkan, tawanya tak ada sopan santun sama sekali, cekakakan seperti orang gila, mengahampiriku, hendak mencengkeram lenganku kemudian terbang lagi sebelum meraihku, aku tahu siapa mereka, tapi kenapa seperti ini, ada apa dengan orang-orang ini, seseorang yang sangat aku kenal di antara mereka kemudian berteriak dengan kencangnya “Hei anak manja, ini tutoring mau dibawa kemana? Lu jangan nyusahin kita yang ada di sini!” Teriakannya nyaris membuat gendang telingaku pecah, tawa mereka kembali menggelegar, tangan-tangan mereka seolah hendak meraihku, menarikku, mereka semakin mendekat, dan benar saja, mata gadis yang meneriakiku tadi berpapasan dengan mataku, pupilnya merah menyala penuh kemarahan, aku tercengang, tak tahu lagi apa yang terjadi, tiba-tiba ada gulungan asap hitam yang membuat mataku perih, kabur, mata itu sudah tidak ada, tapi gulungan asap ini membawaku kesana kemari, terseret arus, terpental dari satu sisi dinding ke sisi dinding yang lain, bak tornado dengan bau yang menyengat menyesakkan dada, perlahan pergi ke langit gelap itu, aku pun tersungkur. 

Kali ini datanglah rombongan orang-orang yang sangat aku kenal, dengan memicingkan mata akhirnya aku lihat teman sekelompokku, datang dengan penuh kemarahan, dan berteriak seolah sedang orasi, mendemo-ku “Hei Kau! Ingat proyek kita, bodoh kau! Ini tanggung jawab pada rakyat. Kau jangan jadi benalu buat kami!” Kemudian hilang begitu saja. Terbang melebur menjadi sebuah benda tipis warna putih kemudian jatuh di sekelilingku, satu persatu dengan coretan merah, bahasa yang tak aku mengerti, kemudian dari benda yang baru kusadari sebagai kertas itu muncul angka-angka dan alfabet, bergerombol, banyak, bak tawon keluar dari sarangnya, dengan kaki-kaki dan sayap menjijikkannya, mengejarku, menyerangku, berkata “Hei, jadikan kami bagian terbesar dalam hidupmu, Bodoh! Tugasmu hanya membersamai kami di setiap waktu tapi kau selalu sok hebat, sok sibuk. Sekarang nikmati sakitnya kemarahan kami!”. Kubayangkan bahwa nyawaku akan melayang detik itu juga bersama bisa beracun yang mengalir dari tanda sigma, o umlaud, SS yang mewakili standar deviasi, huruf A, B, C, Z dan kawan-kawannya tersebut, bayangan mengerikan itu membuatku lemas, tak tahan lagi. Tubuhku tertelungkup, tersungkur.

Sayup-sayup kubuka mata, kulihat mereka, orang-orang tak kukenal itu perlahan berjalan ke arahku, dengan pakaian putih-putih, wajah mereka pucat, seseorang menghampiriku, berbisik “Re, asrama butuh kedatanganmu, senyum ceriamu, obrolan manis kita”. Sayup-sayup suara itu begitu damai, mataku tak sanggup melihat dengan sempurna, kunang-kunang, sejenak alunan nada yang entah darimana bersama angin semilir menyentuh luka-luka di tangan, wajah dan kakiku, kemudian berlalu, sepi. Kubenamkan wajahku ke tanah, aku bingung. Dan sekali lagi, tangan lembut menyentuh bahuku, mendekat ke arah mukaku, aku tak mengenali wajah itu, mataku semakin tak bisa membedakan garis antara hidung, mata dan mulut, mataku tak bisa melihat, hanya seberkas cahaya putih yang terlihat, ia membisikiku “Nak, luangkan waktu sejenak untuk sekedar membalas pesan SMS dan mengangkat telepon itu, Ibu merindukanmu Nak, Ibu tidak bisa jauh darimu”. Setitik cairan dingin jatuh ke lenganku. Kemudian kurasakan tangannya memegang tanganku yang lemas, tangannya begitu lembut, namun dingin, dingin sekali. Tiba-tiba kurasakan tanah tempatku berdiri bergoncang, semakin kuat, membuat dinding-dinding di sekitarku runtuh. Wanita itu tetap memegang tanganku, aku merintih, mencoba bangkit, namun sia-sia. Perlahan tanah didepanku mulai retak, guncangan itu semakin kencang, semakin kurasakan hidupku benar-benar tinggal beberapa detik lagi. kurasakan tangan itu menggenggamku kuat, kemudian tertarik, tanah retak di depanku membuat kami terpisah, seperti magnet yang tertarik di kedua kutub yang berbeda, genggaman itu, bersama tanah yang semakin retak akhirnya lepas. Guncangan itu semakin kuat, dinding-dinding hampir semuanya telah runtuh, retakan tanah semakin melebar, sejengkal lagi retakan itu akan sampai di tubuhku, mencoba untuk lari tapi tak ada daya, akhirnya retakan itu kurasakan dari ujung badan atas sampai bawah, membuatku berada di tengah-tengah belahan tanah sebelah kiri dan kanan, tanah-tanah itu tak bisa lagi menopang tubuhku, di sebelah kananku, tanah itu semakin bergerak ke kanan, begitu pula tanah yang menopang tubuh bagian kiriku, semakin ke kiri, aku pun melayang, tak ada yang menopangku. Kulihat jurang di bawahku sebagai perjalanan yang amat lama, mengerikan, gelap, bebatuan di sana sini, api yang menyala-nyala. Dan akhirnya, gedebug!!! Tubuhku menabrak sebuah benda keras, membuatku meringis sakit. Hmm, ternyata ubin kamar. Kucoba untuk bangkit, ku ingat satu persatu. Nightmare! Panas rasanya hembusan napas ini, lemas rasanya tubuhku, sakit, bibirku perih dan kering, mataku sakit. Kuingat sedapatnya, kulihat tumpukan buku di meja itu dan kertas-kertas di ranjangku, tugas untuk dikumpulkan esok hari. Huh!!. Tubuhku semakin lemas, panas itu kini menjalar dari ujung kepala sampai ujung jari kaki. Aku pun tersungkur, kembali membentur ubin kamarku, COLLAPSE!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar