Minggu, 23 Oktober 2011

Indonesiaku Damai: Mengenali untuk Menjadi Cinta



Ban66a menjadi Indonesia marak kita lihat di berbagai jejaring sosial dan media memperingati Hari Ulang Tahun Indonesia Agustus lalu. Rangkaian huruf yang membentuk kata bangga tersebut diselipkan dua kali angka enam yang menunjukkan umur negara kita yang sudah begitu matang. Enam puluh enam tahun Indonesia merdeka sejak diproklamirkan oleh seluruh bangsa Indonesia yang diatasnamakan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta. Usia yang  jika dimiliki oleh manusia maka ia telah menjalani kehidupannya cukup lama, mungkin ia telah mencapai kesuksesan membangun kehidupan di dunia, waktunya istirahat menunggu datangnya perjalanan menuju kehidupan selanjutnya. Namun tidak bagi Indonesia, negara kaya ini pun bahkan masih belum cukup umur untuk dikatakan mandiri. Indonesiaku, menangis di kala berbagai persoalan pelik membadai. Korupsi, penyuapan, kemiskinan, kriminalitas, kekerasan, konflik sosial dan banyak persoalan lain yang semakin bertumpuk dengan penyelesaian yang dangkal. Sekali lagi, kita mendengar istilah radikalisme, terorisme, konflik antar suku maupun agama menjadi headline di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Peristiwa bom bunuh diri di sebuah gereja di kota Solo yang dikaitkan dengan kasus pengeboman sebelumnya. Suatu kenyataan yang membuat kita mendesah kasihan, “Indonesia malang sekali kamu, berperang dengan rakyatmu sendiri”. Istilah yang tepat ketika pada realita ditemui berbagai tindakan perusakan dilakukan di sana sini, pada infrastruktur maupun hukum dan kehidupan sosial.
Sebuah rintihan yang tak berarti jika hanya berakhir sebagai sebuah rintihan. Indonesiaku harus bangkit, harus selesai dengan permasalahannya, termasuk stabilitas nasional. Tak pantas negara yang besar mempunyai konflik internal yang tak kunjung selesai. Apalagi Indonesia mempunyai mantra mujarab Bhineka tunggal Ika, Walaupun berbeda tetapi tetap satu juga. Indonesiaku damai, mengenali kembali kearifan lokal, budaya dari leluhur yang mengajarkan hidup damai, guyub rukun dalam istilah Jawanya, budaya gotong royong, atau sebuah kata bijak “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Mengenali sejarah Indonesia, semangat bambu runcing yang tak berarti apa-apa tanpa adanya rasa kebersamaan, pengorbanan jiwa dan raga untuk mencapai sebuah kebebasan. Sedini mungkin pengenalan menjadi sebuah kewajiban untuk diberikan kepada setiap rakyat Indonesia melalui pendidikan dalam keluarga, masyarakat, maupun sejarah dan filsafat. Sejarah yang tak hanya rangkaian kronologis, filsafat yang tak hanya menghafal nama tokoh tetapi mempelajari setiap nilai, dipahami, diinternalisasikan dalam setiap aspek kehidupan. Sebagaimana penginternalisasian nilai samurai di kebudayaan Jepang. Dengan mengenali, cinta tanah air tak lagi sulit ditemukan pada setiap rakyat Indonesia. Rasa cinta yang akan membentuknya menjadi pribadi rela berkorban untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk menciptakan Indonesia yang damai, untuk berani peduli terhadap bangsanya, untuk menjadi bangga dengan ke-Indonesiaannya, menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas, perdamaian bangsa, untuk menjaga dan mencintai Indonesia sebagai sebuah anugerah luar biasa.
Dan Indonesia yang damai, Mengapa tidak? Aku kenal maka aku cinta, aku cinta maka akan aku jaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar