Entah mengapa akhir-akhir ini mendadak lagu
Yogyakarta dari kla Project menjadi soundtrack harian dalam setiap aktivitas,
Jogja, terlepas dari status yang disandangnya sebagai Daerah Istimewa sebagaimana syair-syair dalam beberapa lagu yang diciptakan oleh musisi yang mungkin ‘terlanjur’ jatuh cinta dengan Jogja, terlepas dari julukannya sebagai kota pelajar yang mencerminkan tingginya intelektualitas penduduknya (barangkali), terlepas dari semboyannya “Jogja berhati nyaman” yang mungkin setelah mendengarnya akan menimbulkan sugesti bahwa Jogja itu nyaman atau hati menjadi nyaman ketika berada di Jogja (entahlah):-)
Jogja, terlepas dari status yang disandangnya sebagai Daerah Istimewa sebagaimana syair-syair dalam beberapa lagu yang diciptakan oleh musisi yang mungkin ‘terlanjur’ jatuh cinta dengan Jogja, terlepas dari julukannya sebagai kota pelajar yang mencerminkan tingginya intelektualitas penduduknya (barangkali), terlepas dari semboyannya “Jogja berhati nyaman” yang mungkin setelah mendengarnya akan menimbulkan sugesti bahwa Jogja itu nyaman atau hati menjadi nyaman ketika berada di Jogja (entahlah):-)
Ya, terlepas dari semua itu, bagiku, Jogja merupakan sebuah kota yang istimewa dan akan selalu istimewa. Ini mengenai jalan juang, mengenai air mata, asa dan berbagai pergolakan dalam jiwa. Sebuah penilaian subjektif, sangat subjektif malah yang untuk mencapai pemahaman terhadap penilaian tersebut membutuhkan imaji tersendiri dan mungkin tidak semua orang akan menganggap hal ini sebagai suatu yang normal, bisa saja dianggap terlalu berlebihan atau justru muncul pernyataan ‘ah kayak gitu sih biasa saja’. Bagiku tidak pernah menjadi masalah, karena ini mengenai jalan hidup yang ditakdirkan-Nya bagi setiap orang, mengenai refleksi masing-masing orang terhadap jalan hidupnya, tergantung seberapa dalam penghayatan orang tersebut terhadap setiap detik waktu yang dilaluinya, seberapa dalam pemaknaan setiap orang terhadap setiap potongan mozaik peristiwa yang terjadi dalam hidupnya yang kemudian dirangkai sehingga terbentuk menjadi fase masa lalu yang kemudian mempunyai arti, menjadi sebuah memoar untuk dikenang, segera dilupakan atau dengan susah payah mencoba di-repress dalam alam bawah sadar, untuk dibagi karena menginspirasi ataupun disimpan untuk dirinya sendiri. Ya, itulah masa lalu.
Jogja, benar saja bahwa selalu ada
setangkup haru dalam rindu setiap kali aku mengunjunginya, teringat akan wajah
ibu yang penuh restu, wajah ayah yang penuh was-was, melihat sebuah asa akan
masa depan yang indah, melihat rasa mengganjal di dada karena kegagalan, ribuan
butir peluh dan ritme irama jantung yang berdegup kencang, berbagai air mata
penyesalan dan sebuah peristiwa yang mengharu biru atas sebuah kata, berhasil. Jogja,
hanya Jogja. Jogja yang telah menjadi saksi bisu akan makna perjuangan bagi
seorang anak manusia yang terbatas dalam segala hal (finansial, intelektual),
perjuangan akan berbagai kegagalan, perjuangan untuk kembali membangkitkan
semangat, perjuangan untuk kembali melanjutkan perjuangan (muter-muter ya?).
Terhitung enam kali aku mengunjungi Jogja di pagi buta, berangkat sebelum ayam
berkokok (karena mungkin gadis-gadis desa belum mulai menumbuk padi kali ya)
dan pulang ketika matahari sudah waktunya mengikhlaskan keberadaannya
digantikan oleh rembulan, didampingi ayah terhebat seluruh dunia yang selalu
memberikan dukungan penuh terhadap berbagai keputusan yang aku ambil, yang
merelakan waktu dan tenaganya untuk mengantarkanku setiap pukul empat pagi,
menunggu dengan was-was, menanyai bagaimana tadi dan menyemangati ketika
tersirat kekecewaan dari kata-kataku. Di Jogja, lima kali aku berjuang untuk
mencapai sebuah cita, berkuliah. Sebelumnya mungkin akan aku jelaskan mengapa
aku sangat terobsesi untuk kuliah. Bukan semata untuk mengikuti trend dimana setiap
kali lulus SMA baiknya adalah melanjutkan jenjang perguruan tinggi, sama sekali
bukan. Aku anak pertama dari enam bersaudara, kedua orang tuaku merupakan
pekerja keras demi mencapai hidup berkecukupan (meski dapat dikategorikan
kurang mampu), aku menanggung tanggung jawab itu, lima adik kecil yang
membutuhkan teladan, membutuhkan penyemangat untuk selalu optimis menjalani
kehidupan, membutuhkan jalan keluar dari labirin kemiskinan, membutuhkan alasan
untuk selalu berjuang. Bagiku, kuliah adalah jawaban untuk itu semua, dimana
aku bisa mendapatkan berbagai wawasan baru mengenai dunia, dimana aku mengenal
keoptimisan dalam berjuang yang nantinya akan aku tularkan kepada mereka,
dimana aku meyakini akan ada sebuah janji kehidupan yang lebih baik melalui jalan
ini.
Kalian tahu kegagalan itu begitu
menyakitkan, sangat menyakitkan. Lima kali aku mengikuti ujian masuk, aku
gagal. Dan penyesalan atas banyaknya biaya yang telah dikeluarkan kedua orang
tuaku demi formulir ujian masuk itu jauh lebih menyakitkan daripada makna kegagalan
lulus ujian itu sendiri. Namun bagiku, yang dinamakan hidup adalah ketika telah
merasakan kesakitan-kesakitan itu. Kala itu mungkin menjadi dosa terbesarku
karena menyia-nyiakan kesempatan formulir ujian masuk dengan semua kegagalan
tersebut, merasa bersalah, sangat, merasa tidak berguna dan sangat bodoh,
tentu. Namun banyak pelajaran yang aku dapatkan dalam kesempatan itu, bagaimana
menjadi rendah hati, bagaimana menjadi pribadi yang fokus, bagaimana berusaha
extramiles dan lebih extramiles lagi, bagaimana seorang hamba menghamba kepada
penciptanya. Dan aku menyadari suatu hal bahwa hasil tidak selalu liniar dengan
usaha, karena disana ada ketentuan Tuhan yang tentu penuh berjuta alasan
mengapa harus begini dan begini, mengapa akhirnya harus yang itu bukan yang ini
serta mengapa harus melalui jalan ini bukan jalan itu. Makna bahwa Allah selalu
memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Dan
kegagalan-kegagalan itu, semua perasaan bersalah itu, mendorongku untuk semakin
giat, semakin mendekat pada-Nya hingga ujian keenam namaku tercantum dalam
sebuah portal penerimaan mahasiswa baru bahwa aku resmi menjadi mahasiswa
Universitas Indonesia. Ini cerita mengenai kegagalan terbesar yang pernah aku
alami, mengenai rasa bersalah yang sangat, mengenai penyesalan yang mendalam,
mengenai kebangkitan dari semua keterpurukan, mengenai semangat baru, mengenai
sebuah makna perjuangan, fokus, rendah hati, menghamba pada pencipta, berbaik
sangka pada-Nya, mengenai sebuah makna bahwa everything will be okay in the
end, if its not okay its not yet the end!
ini adalah Jogjaistimewa part1 ku, nantikan kelanjutan cerita Jogjaistimewa berikutnya ya, masih banyak hal yang membuatku selalu mampu mengatakan bahwa Jogja is wonderful!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar