Namaku Rana, ini adalah cerita mengenai aku dan
hujan. Hujan, akhir-akhir ini menjadi sahabat terbaikku. Yang menemaniku
bagaimana harus menuliskan apa yang aku rasakan dalam diriku, atau mencurahkan
pada Tuhan. Hujan, memang selalu punya makna. Ketika diriku dalam keputusasaan,
hujan yang membuatku semakin tunduk dalam munajatku pada Tuhan, hujan yang
membuat tangisku semakin deras. Hujan juga yang membuatku bisa merenungi setiap
jengkal kehidupan yang telah aku jalani. Namun hujan juga membuat sedihku
semakin mendalam. Karena hujan, semesta seolah mendukung dukaku, mengunci
keceriaanku bersama mentari yang bersembunyi. Apalagi jika sendiri.
Sore itu, aku terpuruk dengan diriku sendiri. Dengan
kebodohanku yang akhirnya membuat hidupku selalu merasa bersalah. Dengan lelah
yang membuatku semakin tidak mengerti akan keberadaanku di sini, untuk apa dan
untuk siapa. Aku telah lupa akan mimpi-mimpi yang menjadi alasan untuk apa aku
berdiri di tempat asing ini, bukan lagi underachievement,
bukan lagi demotivasi, bukan lagi learned
helplesness. Aku benar-benar berada dalam titik keterpurukanku, ketika
berbagai urusan tidak aku selesaikan dengan baik. Kuliah, organisasi,
pekerjaan, ibadah, hubungan interpersonal, nama baik. Ah, aku tak tahu harus
mulai memperbaiki darimana.
Rana, aku merindukan Rana yang dulu, yang ceria
bagaimanapun kondisinya, yang tetap ramah betapapun sulitnya, yang tegar, yang
tegas terhadap diri sendiri, yang mempunyai semangat juang meraih apa yang
disebutnya sebagai mimpi, yang dirangkai dalam sebuah kalimat “Rana, sang
pengejar matahari”. Dan kini? Kemana matahari-matahari itu, kemana Rana yang
dulu? Mengapa hujan dan mendung kini senantiasa menghampirinya?
Namaku Rana, kini aku merasakan lelah yang luar
biasa, merasa semua beban aku rasakan sendiri tanpa ada yang membantuku. Tugas
kuliah aku rasakan sebagai suatu hukuman atas pilihanku melanjutkan kuliah, tuntutan
organisasi kurasakan sebagai sebuah kutukan ketika aku memutuskan untuk
mengikuti ini dan itu. Dan mimpi-mimpi itu, ayah dan ibu, sahabat terbaik,
mengapa seolah tak bisa membangkitkan semangatku, mereka kehilangan ruhnya,
kehilangan makna, menghadirkan kehampaan hati yang menggetirkan, memilukan.
Sungguh kemana Rana yang dahulu, kemana?
Dan hujan masih terus turun sepanjang sore ini,
menemani renungan panjangku, kontemplasi atas kegagalanku mengendalikan diri,
kegagalanku menjaga locus of control
internalku, refleksi terhadap kesempatan-kesempatan yang telah aku lewatkan,
menyesali ketertinggalanku yang begitu jauh. Dan mendung masih menemani hujan
yang bergemericik riuh, deras segan berhentipun tak mau, suasana yang membuat
kepiluan ini semakin menjadi. Namun aku tidak akan pernah mau berlama-lama
dalam kondisi frustrasi ini, tidak. Tapi bagaimana dayaku, kesedihan ini begitu
dalam merasukiku, kegagalan-kegagalan itu.
Ah ataukah ideal self ku yang terlalu tinggi sementara diriku yang sebenarnya
baru seperti ini. Ideal self yang menciptakan
gap terlalu lebar yang membuatku depresi? Entahlah
Yang aku tahu, saat ini aku sedang putus asa, aku
lelah, aku penat, aku kehilangan matahariku, aku sedang berduka, berduka dengan
diriku sendiri. Aku bingung, disorientasi, apa yang harus aku lakukan?
Dan langit masih terus menurunkan air kehidupannya,
masih dengan suasana yang sama. Aku tekadkan keluar dari penjara ruangan ini,
berdoa di bawah guyuran air hujan, membiarkan air kehidupan itu membasahiku,
membasahi jiwaku yang semakin layu, berharap mampu menyirami dan
menyuburkannya, merasakan kebebasan, berteriak melepaskan rantai-rantai
kepenatan. Dan saat ini, yang aku ingin hanya satu, aku ingin pulang, aku ingin
pulang, pulang dalam alam kebebasan, mencari jati diri Rana yang dulu, aku
ingin pulang, kalaupun aku tidak mendapati matahari-matahari itu, aku berharap
bisa menemukan pelangi. Pelangi yang indah setelah gerimis hujan di hatiku.
Karena aku yakin, pelangi itu masih ada, masih ada.