Anak berkebutuhan khusus
(ABK) menurut Suran dan Rizzo (dalam Mangunsong, 2011) merupakan anak yang
secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi
kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial
terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara
maksimal. Loretta Claiborne, Helen Keller,
Hee Ah Lee atau Ramaditya merupakan beberapa contoh anak berkebutuhan khusus
yang telah mencapai kesuksesan dalam hidup. Mampu menemukan bakat dan
potensinya serta mampu mengembangkannya hingga membuat orang-orang berdecak
kagum atas kelebihan di tengah keterbatasan yang mereka miliki. Potret anak
berkebutuhan khusus di Indonesia seringkali tidak seindah itu, autisme, mental retardation, emosional disorder, tunarungu,
tunanetra, tunawicara, tunadaksa, tunaganda dan berbagai ketunaan yang lain
masih dipandang sebagai aib, diremehkan di sana sini, diolok-olok, dianggap
aneh bahkan dikucilkan.
Keberhasilan ABK dalam
mengembangkan potensinya tidak terlepas dari peran orang-orang terdekatnya
sebagai significant other, terutama
peran orang tua dalam mendampingi, mendukung dan membimbing ABK. Namun orang
tua sendiri pun pada kenyataannya harus menghadapi beberapa fase sebelum akhirnya bisa menerima
keberadaan anak berkebutuhan khusus di keluarga mereka. Fase tersebut meliputi denial (penolakan), bargaining
(penawaran), anger (marah), depresion (depresi), dan acceptance
(penerimaan). Banyak orang tua yang bertanya “Mengapa harus kami?
Apa kesalahan kami? Dan sekarang apa yang harus kami lakukan?”. Hal ini terjadi
pada hampir semua orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus ketika
pertama kali kekhususan tersebut terdeteksi.
Kenyataan tersebut
menjadi alasan bahwa dukungan dan edukasi pun diperlukan bagi orang tua yang
mempunyai anak berkebutuhan khusus sehingga mereka siap membimbing dan
melakukan intervensi. Orang tua memerlukan edukasi khusus mengenai coping behavior sehingga proses
penerimaan memiliki anak berkebutuhan khusus akan lebih cepat dicapai. Coping
behavior menurut Wibowo dkk (2011) merupakan respon individual dalam
menanggulangi perubahan dalam hidup. Memiliki anak berkebutuhan khusus
merupakan perubahan hidup yang cukup signifikan dalam kehidupan orang tua yang
sebelumnya belum pernah memiliki anak berkebutuhan khusus ataupun keluarga yang
berkebutuhan khusus. Memiliki anak kebutuhan khusus bisa dikatakan tidak pernah
diharapkan oleh setiap orang tua dan ketika mengetahui bahwa anak yang
diharapkan kelahirannya merupakan anak yang memiliki kebutuhan khusus, banyak
hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi, mulai dari merasa tidak percaya,
merasa putus asa, depresi, keretakan hubungan rumah tangga karena merasa tidak
mampu menerima kenyataan sehingga tidak sedikit kasus ini akan menimbulkan
perceraian antara suami istri.
Terdapat dua macam coping
behavior yakni problem focused coping merupakan cara mengatasi
masalah dengan berfokus pada masalah itu sendiri dan emotion focused coping yang
lebih berfokus pada bagaimana mengelola emosi dan perasaan ketika menghadapi
permasalahan. Problem focusing coping melibatkan aspek kognitif dan
aspek perilaku, individu diminta menganalisis masalah dan berbagai informasi
terkait masalah kemudian merencanakan alternatif-alternatif solusi,
mempertimbangkan berbagai konsekuensi dan mencari nasihat orang lain sebelum
memutuskan untuk bertindak. Pendekatan emotion
focused coping diharapkan dapat mempercepat proses regulasi emosi negatif
sehingga dapat menerima kenyataan memiliki anak dengan kebutuhan khusus. Emotion focused coping dapat dilakukan
melalui kegiatan keagamaan yang dapat memberikan ketenangan rohani. Sementara problem
focused coping dapat dilakukan
dengan mencari akar permasalahan yang terjadi, merunuti penyebab anak mengalami
kecacadan, mencoba konsultasi dan sharing dengan orang tua yang juga
memiliki anak berkebutuhan khusus terkait regulasi emosi dan begaimana harus
menerima kenyataan serta berpikir dan mencari informasi terkait apa yang dapat
dilakukan ke depannya seperti penanganan dan intervensi agar anak bisa bersosialisasi
dan diterima di kehidupan sosial.
Orang tua yang telah mampu menerima anak
berkebutuhan khusus hadir di tengah-tengah hidup mereka diharapkan mampu
memberikan dukungan fisik dan psikologis sehingga peran orang tua sebagai significant
other yang memiliki tanggung jawab terhadap masa depan anak berkebutuhan
khusus dapat dilaksanakan dengan baik. Orang tua memiliki peran yang krusial
dalam perkembangan anak berkebutuhan khusus diantaranya dalam resiliensi dan mendampingi
perkembangan anak dalam kemampuan kognitif, konatif dan afektif serta kehidupan
sosialnya.
Resiliensi menurut
Rotter (dalam Truffino, 2011) merupakan kemampuan individu untuk tetap
menunjukkan sikap positif secara psikologis ketika menghadapi kondisi yang
sangat beresiko. Menjadi anak dengan kebutuhan khusus berarti harus rela dan
siap menjadi anak yang berbeda dengan mayoritas anak, menerima dan mencoba
bangkit dengan kenyataan yang mungkin cukup membuat terpuruk. Berbagai respon
dari lingkungan tidak bisa dikontrol sesuai dengan kehendak sang anak maupun
pihak keluarga, dan yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah meyakinkan sang
anak bahwa keterbatasannya bukanlah penghalang dalam interaksi sosial, respon
dari lingkungan tidak boleh membuat sang anak menjadi down karena setiap anak lahir dengan keunikan masing-masing dan
yang diberikan oleh Tuhan adalah yang terbaik bagi umat-Nya serta pasti ada
rencana terbaik dari Tuhan untuk anak berkebutuhan khusus. Percakapan dua arah
dari ibu atau ayah secara intens kepada anak berkebutuhan khusus dan
menciptakan hubungan kedekatan kepada anak membuat orang tua menjadi tokoh yang
sangat penting dalam kehidupan ABK yang akan mempermudah dalam
menginternalisasikan nilai-nilai positif bagi anak berkebutuhan khusus.
Menceritakan kisah anak-anak berkebutuhan khusus yang telah sukses di tengah
keterbatasannya, anak-anak berkebutuhan khusus yang telah dikenal dunia sebagai
tokoh yang bermanfaat serta berbagai usaha yang harus mereka lakukan bisa
menjadi salah satu kebiasaan baik yang mempercepat proses resiliensi ABK
terhadap kondisinya dan respon orang-oranng di sekitarnya.
Anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam
berbagai hal yang semua itu akan mempengaruhi kemampuannya untuk bersosialisasi
(Stephens et al., 2010). Dalam hal ini orang tua mempunyai peran yang penting
dalam membangun self esteem maupun self efficacy anak berkebutuhan khusus sehingga
sang anak dapat tampil di masyarakat dengan berbagai keterbatasannya.
Perkembangan anak dalam kehidupan sosial dapat dilakukan dengan teknik social constructivism dimana ibu maupun
ayah dapat membantu ABK untuk mempelajari berbagai hal terkait dengan materi
sekolah, melakukan hal-hal yang seharusnya sudah bisa dilakukan anak normal
seusianya namun menjadi kesulitan tersendiri bagi ABK serta bagaimana mereka
harus tampil dalam kehidupan sosial. Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus
mempunyai kewajiban untuk memahami kebutuhan khusus sang anak mulai dari
penyebab, gejala-gejala yang tampak hingga strategi intervensi. Waktu yang
dimiliki olah anak jauh lebih banyak mereka habiskan dengan keluarga di rumah
sehingga intervensi akan jauh lebih signifikan hasilnya jika orang tua mampu
melakukannya dengan tepat dan telaten misalnya terapi wicara bagi anak
tunarungu, latihan membaca bagi anak dyslexia,
atau latihan membaca huruf braille dan mengenali berbagai macam benda bagi anak
tunanetra. Selain meningkatkan aspek kognitif, latihan-latihan yang dilakukan
oleh orang tua akan memberikan dampak positif lain bagi sang anak, ABK akan
merasa lebih siap dan memahami potensi yang dimilikinya, dengan kata lain hal
ini akan membangkitkan kepercayaan diri sang anak. Membangun kepercayaan diri
dan membekali ABK dengan kemampuan kognitif yang dilakukan oleh orang tua
membuat sang anak berani tampil menjadi dirinya sendiri di masyarakat, dan hal
ini akan mempermudah langkah anak berkebutuhan khusus dalam menjalani masa
depannya.
Orang tua sejak awal kehidupan anak berkebutuhan
khusus merupakan tokoh yang berperan penting dalam kehidupan anak, penerimaan
orang tua bahwa mereka memiliki anak berkebutuhan khusus dan kepedulian orang
tua dalam memahami kebutuhan khusus sang anak sangat diperlukan dalam
membimbing anak berkebutuhan khusus dalam setiap tahap kehidupannya.
Daftar
Pustaka
Derk Stephens, M. S. (2010). Group
Counseling: Techniques for Teaching Social Skills to Students with Special
Needs. ProQuest Research Library , 509.
Mangunsong, F. (2011). Psikologi dan Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus. Depok: LPSP3UI.
Truffino, J. C. (2010). Resilience: An Approach to
the Concept . Rev Psiquiatr Salud Ment (Barc.) , 145.
Wibowo,
I., Pelupessy, D. C., Narhetali, E. (2011). Psikologi Komunitas. Depok: LPSP3UI