Senin, 28 Januari 2013

Freedom

Bebas
Beriring panorama fajar
di ufuk kaku beku sejuk
Bebas
Menyepak seruak pasir
Meninju hembusan sepoi buritan bayu
Memanja sapuan sepasang bintang kejora hidup
Bebas,
Pilihan untuk terus mengayun
atau tinggal,
dan napas tersengal
dan berhenti
Bebas
Pada akhirnya bisik-bisik nurani
Seruan-seruan gejolak rasa
Euforia dan penyesalan
Penat dan lelah
Pada akhirnya
Lebur, lenyap
Pada akhirnya tunduk, rapuh dan bersimpuh
Masih beriring hangatnya mentari
Kaku beku sejuk
Bersama, menyatu alam
Berucap syukur, melarung kalbu
Melarung dalam kebebasan
Dalam kedamaian
Dalam sebuah makna
Indah, anugerah, kuasa
Dalam sebuah frasa
Bangga, cinta, yakin
Dalam sebuah ketenangan
Damai bersama angin
Hangat bersama pagi
Lepas
Bebas

-Bromo January 17th, 2013 06.00 WIB

Minggu, 06 Januari 2013

“Jutek, Kaku, Dingin”



Jutek, kaku, dingin. I guess that’s the opinion ketika pertama kali orang-orang kenal sama saya. Nggak nyalahin mereka, nggak nyalahin saya juga, nggak nyalahin siapa-siapa sih tapi ya emang begitulah yang terjadi, hoho. Well, memang pada kenyataannya pun saya paling tidak bisa ber”romantis-romantisan” sama temen-temen di sekitar saya (cewek lah ya), bentar-bentar curhat, heboh sendiri kalo ketemu, atau dengan saksama dengerin curhatan orang yang bagi saya (sorry to say: Agak lebay dan nggak penting), hehe (itu saya kalo lagi jutek, kaku dan dingin). Implikasi(buruk)nya, saya merasa selalu bisa INDEPENDEN (behasa keren dari: kemana-mana sendirian karena nggak ada temen :P), menjadi DOMINAN (bahasa keren dari: pengen diakui dan dapet perhatian :D) atau selalu WASPADA (kata lain dari: susah percaya sama orang lain J) dan mungkin PERFEKSIONIS (a.k.a membatasi orang lain yang ingin singgah menjadi teman saya, hehehe). Bukan bermaksud membuka aib sendiri sebagaimana hadist “Janganlah kamu membuka aibmu ketika Allah telah menutupinya” (gimana ya redaksional yang tepat?). Karena ini bukan aib. Sekedar sharing mengenai positif negatif dari “Jutek, kaku dan dingin” sekaligus penyikapan appreciative inquiry-nya aja sih J. Biar yang ngerasa sama kayak saya nggak galau melulu. Misal nih si Ms. R (baca: Riri :P)
Nah, poin pertama: Sikap jutek, kaku dan dingin bisa berasal dari pola asuh orang tua di masa kecil yang membiasakan kita untuk tegas, taat aturan dan nggak manja (ini asumsi ya, bukan teori, based on true story, hehe). Jadi awal pembentukan di masa kecil kita (kita=yang merasa sama kayak saya :P) udah keren, Bro! Tegas, taat. Hehehe
Poin kedua, Biasanya orang macam ini bisa taktis bertindak, tanpa pretensi, independen. Jadi nggak mudah dipengaruhi dan dapat objektif (sekali lagi ini asumsi  bukan teori :P)
Poin ketiga, Walaupun jutek, kaku dan dingin, saya setia kok #eh :D dan bersedia mengorbankan apapun untuk sesuatu yang sudah dicintainya. (Kesulitannya memang sih susah menentukan apa yang akan dicintainya)
Poin keempat, kalo saya sih dominannya, dominan solutif yaa #ups hehe (bukan ujub kok, hanya mencoba berpikir positif sama diri sendiri aja J) meski kadang keras kepala, tapi saya asyik kok diajak diskusi (*promosibanget -_-)
Poin kelima, ada dua tipe pertemanan (Kata dosen Psi. Abnormal saya). Sedikit teman namun sangat akrab atau buanyaaak kenal orang tapi sebatas kenal (nggak ada yang lebih unggul antara satu dan yang lainnya kok, Sob). Dan saya adalah tipe yang kedua.
Poin keenam, Cewek yang punya kecenderungan jutek, kaku, dingin (plus keras kepala :P) macam saya ini kalo saya amati cenderung agak maskulin, hehe. Dan saya bangga! Bangga aja kalo ada yang bilang saya beda dengan “Ukhti-ukhti” yang lain. It sounds so special aja, haha #PD
Poin ketujuh, Kita memang tidak dapat menyenangkan semua pihak, saya yakin banyak yang nggak suka dengan ke-jutek-an, ke-kaku-an, ke-dingin-an saya, tapi saya juga yakin kalo ada banyak orang pula yang suka dengan style saya ini, hehehe
Poin terakhir, Well bagi saya ini adalah karakter saya. Selama tidak melanggar kebenaran yang berlaku umum saya pikir nggak masalah. Pelajarannya sih memang nggak boleh membunuh hati-hati yang ingin singgah di teras hati kita dengan ke-jutek-an, ke-kaku-an, ke-dingin-an kita.  Karena bagaimanapun ukhuwah dan berjamaah itu penting ^_^ #edisibijak 
Oke Masbro, Mbaksist, demikian pandangan saya mengenai “Jutek, kaku dan dingin”. Bisa jadi ini adalah defense mechanism, atau salah satu cara meningkatkan self esteem. Tapi sebenarnya ada yang lebih penting dari itu. Ini adalah resolusi 2013 saya! #bukakartu :P. Semacam berbagi saja, menorehkan tinta mengenai “the uniqueness of people”, semacam sharing aja, bahwa kita tetep bisa “be ourselves” tapi bukan lantas menjadi pembenaran atas apapun sikap kita. Karena “be ourselves” harus tetap menjunjung kebenaran yang berlaku umum. Misal: jujur, ramah apa adanya, saling menghormati dan menghargai, peduli, empati de el el. 
Finally, ada banyak macam karakter manusia di dunia ini, dan kebebasan (yang bertanggung jawab) dalam memilih teman masih terbuka lebar. Asal ingat satu hal, terima teman anda dalam satu paket! Kelebihan juga kekurangannya!
Selamat menjalin pertemanan yang indah J

January 5th, 2013
17:49

Saya mahasiswa biasa, dan saya pikir aksi tolak penggusuran itu solutif



“Ma, hari ini kita makan pake lauk apa? Sejak nggak jualan kok kita nggak makan pake lauk lagi sih Ma?” Ujar anak dai seorang pedagang yang kiosnya di area stasiun Depok Baru bulan Desember 2012 lalu telah rata dengan tanah akibat operasi penggusuran yang dilakukan oleh PT. KAI (Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia).
Setelah sebelumnya Bogor, Cilebut Citayam, Depok, kemudian Lenteng Agung- berlanjut ke Stasiun UI dan Stasiun Pocin yang alhamdulillah masih mampu ditunda hingga hari ini.
Berbagai kabar dan pemberitaan pun beredar. Semua berpendapat. Mulai dari
a.    Motif penggusuran ini adalah untuk penertiban, perluasan peron demi kenyamanan pengguna kereta. Keberadaan pedagang mengganggu kenyamana pengguna kereta. Dikritisi dengan banyaknya opini. “Pengguna kereta yang mana yang dimaksud? Saya pengguna KRL dan saya tidak terganggu dengan adanya pedagang di peron”
b.    Motif rahasia PT KAI menurut akun twitter @juniusibrani “PT KAI mikir siapa konsumen kios yang potensial untuk menyewa dengan harga sewa tinggi, jangka panjang dan kontinyu: WARALABA, itu targetnya”. Ini menurut akun yang bio-nya “Ernesto de la Serna_ Bila hatimu bergetar marah melihat setip ketidakadilan, maka kau adalah saudaraku”  
c.      Berikutnya, mengenai surat Komnas HAM bulan Desember lalu, pemanggilan Dirut PT KAI Mr. Ignasius Jonan ke Komnas HAM yang hanya diwakili oleh Kadaop 1 Jakarta dan Surat Keputusan dari Komnas HAM tertanggal 3 Januari 2013 yang mengemukakan bahwa operasi penggusuran telah melanggar HAM dan operasi penggusuran diminta untuk dihentikan sampai adanya dialog  yang komprehensif antara PT. KAI dan pedagang.
d.    Pengerahan TNI dalam operasi penggusuran yang melanggar ketentuan tugas TNI. http://m.sindonews.com/read/2013/01/04/31/703779/gusur-pedagang-pakai-tni-pt-kai-langgar-hukum
e.    Serta berbagai opini mulai dari yang memihak pedagang dan mahasiswa sampai yang punya opini “menyalahkan mahasiswa” berikut ini linknya
      http://www.metrotvnews.com/metronews/video/2013/01/04/6/168090/Lagi-Mahasiswa-Tolak-Penggusuran-Kios-di-Stasiun-Pondok-Cina#.UObVeFf5Rzg.twitter
      http://chirpstory.com/li/44162
      http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/01/03/mg15w8-mahasiswa-tolak-penggusuran-pedagang-stasiun

            Well, bagi saya segala berita itu hanya acuan agar kita tahu informasinya serta merupakan sebuah pemicu apakah kita cukup kritis dalam menyikapi informasi yang kita peroleh. Perihal akurasinya, yaaah tak ada yang dapat menjamin kalo semuanya akurat sih. Tapi sebagai manusia berakal, at least kita dapat melakukan interrater, interskorer lah, melihat perbandingan, berita mana yang kira-kira cukup komprehensif. Walaupun ketika tidak tahu memang tidak berdosa, tapi mencari tahu apa yang tidak kita ketahui itu wajib :D
            Menurut saya, melihat dengan mata kepala sendiri dan terlibat langsung (dalam konteks ini) jauh dapat menjelaskan pada saya kebenaran yang sebenar-benarnya. Terserahlah kaum elitis yang berkepentingan mempengaruhi pemberitaan media, terserah pula pada setiap media yang mempunyai sudut pandangnya masing-masing (saya tidak terlalu ambil pusing walaupun memang dari media itulah publik memperoleh informasi, tapi dari model pemberitaannya publik juga musti kritis).
             
Yang saya yakini adalah, pedagang-pedagang itu wajib dibela haknya. Pertama kali saya bertanya-tanya adalah ketika saya hendak ke stasiun Depok Baru, tiba-tiba saya dihadapkan pada view yang berbeda. Ratusan kios yang dulu menjual berbagai macam barang dengan harga murah kenapa sekarang jadi rata dengan tanah? Penggusuran? Kapan, kok saya nggak tahu? Terus mereka direlokasi dimana? (masih husnudzon kalo ada relokasi ceritanya J) Berlanjutlah pada kabar di Stasiun Lenteng Agung yang benar-benar digusur di depan mata mahasiswa (tanpa adanya dialog terkait ganti rugi dan relokasi). Saya tidak menolak adanya renovasi, namun ada hak-hak yang terabaikan disini. Hak para pedagang. Mereka didzalimi, ”Kalau digusur, kami makan apa?”  Ungkap Ibu Ayu salah satu pedagang di Stasiun UI.
            Maka saya pun memantapkan tekad untuk ikut aksi. Bukan karena ingin disebut sebagai aktivis, saya juga tidak peduli dengan orang-orang yang nyinyir tentang aksi mahasiswa. Bagi saya, alasan dari pilihan saya ikut aksi ini hanya sederhana, sangat sederhana.
Saya hanya ingin mendampingi para pedagang. Tempat mereka mencari makan terancam musnah. Suatu tekanan psikologis bagi mereka. Terpukul, marah, stress, khawatir, kecewa.
Alasan itu sungguh sederhana, mencoba berempati merasakan teriknya matahari dan guyuran hujan demi mempertahankan kios-kios sumber penghidupan mereka.
Pedagang-pedagang itu bukan pakar hukum, bagi mereka urusan birokrasi dan ranah kebijakan kaum elitis adalah bahasa dewa yang begitu utopis. Dan kita mahasiswa, tempat mereka bertanya, dipercaya oleh mereka untuk berbuat sesuatu. Berbuat bagi kaum alit.
Mahasiswa adalah sandaran bagi para pedagang, tempat berkeluh kesah, tampat berdiskusi. Dan saya serta rekan-rekan mahasiswa hanya ingin memberi dukungan, bahwa mereka tidak sendiri, bahwa kami bersedia turut berjuang. Setidaknya memberi harapan bagi mereka bahwa esok masih ada kehidupan.
Sesederhana itu (terlepas dari jalur hukum dan negosiasi yang juga dilakukan). Melalui aksi yang saya terlibat di dalamnya, saya hanya ingin menyampaikan, “Pak, Bu tetap semangat, teruslah berdoa, InsyaAllah Allah bersama kebenaran, kami di sini mendukung perjuangan Bapak dan Ibu. Jangan lelah, jangan putus asa, esok masih ada kehidupan, masih ada harapan!”
Dan ternyata kemarin saya mendengar perbincangan antar pedagang yang mengharu biru hati saya, “Jantung pertahanan kita hanya ada di UI (Stasiun UI dan Pocin). Ketika perjuangan disini kalah dan kios hancur, maka hancurlah semuanya. Tak ada harapan stasiun-stasiun lain selamat” Terdiam. Aksi tolak penggusuran (sebelum adanya dialog) ini ternyata begitu mereka perlukan. Sebagai jantung pertahanan, sebagai penentu nasib kios-kios di stasiun-stasiun lainnya.
Semoga do’a yang menggelayut langit dari ribuan pendo’a untuk sebuah kata keadilan segera diberikan jawaban terbaik oleh sang Maha Pengabul Do’a. 

Depok, 5 Januari 2013

22:41

Rumah Tanpa Jendela



 
"...Buka Jendelamu, bukalah hatimu
Lihatlah di sekitarmu
Masih banyak kita memerlukan cinta"

Realita bahwa anak-anak tidak pernah bisa memilih untuk terlahir  seperti apa atau  terlahir dari keluarga yang seperti apa seharusnya menjadi pembelajaran pertama bagi setiap manusia. Bahwa ada rencana Tuhan yang telah disusun sedemikian rapinya untuk menunjukkan kepada manusia betapa Maha Segala-galanya Ia. Berbagai rahasia langit akan apa yang ditakdirkan-Nya melatih manusia untuk menentukan langkah yang akan ia tempuh. Putus asa, peduli, peka, optimis, mengutuk takdir, dan hal tersebut selalu menjadi pilihan  bebas yang bertanggungjawab.

Inilah yang ditampakkan dari film Rumah tanpa Jendela produksi  Smaradhana Production dan garapan sutradara Aditya Gumai yang diadaptasi dari cerpen karya Asma Nadia yang berjudul Jendela Rara. Dua tokoh anak dalam film ini, Rara merupakan seorang anak piatu yang tinggal di kawasan pemulung dengan ayah yang bekerja sebagai tukang sol sepatu dan berjualan ikan hias keliling.  Rara mempunyai mimpi sederhana namun bagi ia dan keluarganya menjadi suatu ketidakmungkinan, ia bermimpi mempunyai jendela di rumahnya agar ketika pagi sinar matahari dapat masuk dan ketika malam ia dapat malihat bulan. Aldo merupakan anak keluarga kaya raya, segala keinginannya terpenuhi namun apa mau dikata ia adalah seorang anak dengan kebutuhan khusus (tidak dijelaskan Aldo menyandang ABK apa, dari yang ditampakkan seperti autis namun ia masih mampu  berkomunikasi dan menjalin pertemanan dengan baik). Aldo dan Rara merupakan gambaran bahwa mereka tidak pernah bisa memilih bagaimana mereka dilahirkan.

Yang perlu kita pahami dalam film tersebut adalah baik Rara maupun Aldo menghadapi suatu kondisi yang tidak menyenangkan bagi mereka, antara kekurangan materi dan kekurangan pengakuan serta kurang kasih sayang. Hal itu menguji kekuatan mereka dalam menyikapi. Hanya orang-orang yang berusaha sebaik mungkin adalah mereka yang akan memperoleh kebahagiaan di kemudian harinya.

Soundtrack dalam film ini sebagaimana kiasan dari judul filmnya juga, Rumah tanpa jendela membuat kita merenung sedikit lebih dalam, bolehlah saya kutip
"...Bukan cuma rumah yang perlu jendela, tapi juga jendela di setiap hati kita, tempat kita membuka rasa, agar jiwa peka senantiasa, adakan jendela di hatimu?"
Yang perlu digaribawahi adalah, agar jiwa peka senantiasa, adakah jendela di hatimu? Pertanyaan buat kita semua tentunya, masih adakah tanda-tanda kepekaan di hati kita menyaksikan seluruh realita kehidupan, minimal sadar meski pada akhirnya mungkin belum mampu bertindak.

Film ini bagus menjadi tontonan sekaligus tuntunan bagi anak-anak Indonesia. Menggambarkan realita bahwa memang akan selalu ada dua kutub kondisi yang berbeda, sebagaimana digambarkan dengan kehidupan keluarga Aldo dan keluarga Rara, namun di film ini tidak menunjukkan bobroknya kemanusiaan di Indonesia melainkan menggambarkan kondisi ideal bahwa seharusnya setiap orang kaya bertindak sebagaimana keluarga Sahri (keluarga Aldo), mempunyai pekerjaan halal, taat pada orang tua dan tetap peduli pada masyarakat di sekitarnya yang masih membutuhkan cinta, suatu gambaran yang dapat ditanamkan menjadi mindset bagi anak bahwa seharusnya seperti itu meski pada realita mungkin jarang kita temui.  Sebagaimana tuntunan agama Islam pula bahwa pada harta yang kita miliki, terdapat bagian bagi saudara kita yang kurang mampu yang harus kita berikan.

Dan semoga masih tetap ada jendela di hati kita
Yang akan terus menerus melatih kepekaan tanpa tergerus kondisi  apapun 



31 Desember 2012
21:41