Jumat, 24 Agustus 2012

Tanpa mimpi, orang seperti kita (saya) akan mati


Arai geram sekali. Ia tak habis mengerti padaku
"Biar kau tahu Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!"
"Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati..."

-Andrea Hirata dlm Sang Pemimpi-

bagi saya, apa yang dikatakan Arai itu sangat sangat sangat benar. Mungkin seperti Arai dan Ikal dalam ceritanya di sang Pemimpi, saya bukan anak yang beruang yang bisa merealisasikan semua mimpi saya dengan uang, mimpi ke luar negeri itu, mimpi naik pesawat itu. Saya bukan anak jenius yang bisa dengan mudahnya lolos berbagai seleksi beasiswa, lolos berbagai perlombaan yang membuat saya bisa ke luar negeri atau naik pesawat. Saya seorang anak yang biasa-biasa saja, sungguh biasa-biasa saja, bahkan keterbatasan finansial sempat membelenggu hidup saya untuk makan, untuk sekolah apalagi merasakan berbagai kemewahan-kemewahan yang lain. Saya anak yang biasa-biasa saja tapi saya mempunyai mimpi, mimpi yang juga diimpikan oleh Arai dan Ikal, mimpi yang termotivasi dari berbagai sisi, kedua orang tua, keluarga, teman. Mimpi yang membuat kami tetap hidup sampai hari ini. Mimpi yang membuat saya masih tegak berdiri di kampus perjuangan, kampus berjaket kuning ini meski jauh dari ayah, jauh dari ibu dari adik-adik.

Saat itu, pertama kali saya memikirkan mengenai masa depan, seorang gadis kecil yang baru berusia 8 tahun, mempunyai seorang adik perempuan dan ibu tengah mengandung adik berikutnya, saat itu ibu yang sakit-sakitan, pekerjaan ayah yang tidak jelas, saat keluargaku terlilit hutang banyak, saat kemudian ayah menjadi orang lain, pergi siang pulang menjelang pagi (entah apa yang dilakukan di luar sana), semua pertengkaran itu. Saat itu saya mulai berpikir bagaimana saya bisa menjadi anak yang baik, yang bisa melepas rantai kemiskinan keluarga, yang bisa memperbaiki keluarga saya. kemudian bersemayam impian kecil dalam dada, saya harus rajin sekolah, sampai SMA, sampai kuliah untuk kemudian menjadi dosen atau pekerjaan apapun yang bisa membantu ayah dan ibu. Impian masa kecil itu,  di tengah isakan itu.

Sepertinya Allah tidak menghendaki saya lengah akan impian-impian itu, berpikir segera tuntas belajar untuk kemudian berkarya, saya putuskan mengambil kelas akselerasi, percepatan dua tahun, meski sekolah gratis di kabupaten ini tapi untuk kelas akselerasi masih harus membayar beberapa untuk keperluan ini dan itu padahal adik ketiga, keempat dan kelimaku sudah susul-menyusul lahir. kesulitan membeyar uang sekolah, cercaan tetangga yang menyangsikan mampukah ayah ibu menghidupi enam orang anak, satu perkataan yang sungguh sangat menyayat "anak enem opo arep didolke alun-alun nggo nyekolahke? (anak enam apakah akan menjual alun-alun -maksudnya alun2 kabupaten- untuk menyekolahkan)", pernyataan dari tetangga yang katanya berpendidikan namun sayang tak berkarakter. Ketika ibu harus banting tulang mencoba berbagai macam kesempatan mencari uang, ketika tagihan biaya sekolah mulai menghimpit, ketika itu saya kembali bermimpi "Ibu, pasti saya bisa membahagiakanmu, setidaknya membuat semua perjuanganmu tidak sia-sia".

"orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. Tanpa mimpi-mimpi orang seperti kita akan mati". Di fase ini, kata-kata Arai sungguh saya yakini. Di akhir fase perjuangan semasa SMA, sebuah undangan masuk salah satu universitas masih menjadi perebutan siapa yang berhak dan siapa yang paling mungkin agar tak sia-sia, sekali lagi kala itu saya dibuat menangis sekencang-kencangnya, sungguh hatiku remuk, tersayat habis, rasa hormat yang sekian lama saya tumbuhkan, seketika tumbang, kecurangan itu, pernyataan itu "coba pertimbangkn juga, di antara kalian siapa yang lebih mampu mengeluarkan biaya kuliah di sana, dan bla bla bla", membuat saya menancapkan impian saya berikutnya "Baiklah, saya mampu buktikan bahwa saya mampu kuliah di universitas itu meski bukan melalui jalur masuk yang ini" and here there are, saya berkuliah di Universitas itu, Universitas Indonesia. Sungguh tanpa mimpi-mimpi orang seperti saya akan mati

Berbagai pelajaran hidup menempa saya menjadi pribadi yang kuat sampai sejauh ini, terimakasih kepada semua orang yang pernah mendukung maupun menghina saya yang mampu menjadi cambukan-cambukan luar biasa hingga akhirnya inner strenght saya muncul (dan sampai hari ini masih selalu memcoba melunakkan hati untuk memaafkan dan melupakan namun ternyata cukup sulit, maaf _Ya Allah bantu aku_)

Dan catatan mimpi-mimpi itu sungguh masih banyak, namun kelalaian itu benar-benar membuat diri ini menyesal. "...dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu", Ya Rabb, bimbing hamba untuk senantiasa berada dalam semangat tertinggi untuk menggapai impian itu, untuk melukiskan masa depan yang indah dan bermanfaat, Ya Allah bimbing saya keluar dari kebodohan menyia-nyiakan waktu, dari otak yang  malas diajak berpikir, dari jiwa yang berburuk sangka, dari hati yang jahat. Bimbing hamba untuk senantiasa bangkit dari keputusasaan, Bimbing hamba untuk bangun dari khayalan, untuk berjuang, untuk berjuang dan terus berjuang.
Bantu hamba terbangun dari secuil keberhasilan yang melenakan ini, jangan biarkan hamba menjadi seorang munafik, jaga hamba Ya Rabb. Bantu hamba untuk bangkit, untuk menjadi hamba yang istiqomah, yang bermanfaat waktu dan usianya.
Insya Allah selalu berproses

Minggu, 12 Agustus 2012

Malam Pemberhentian



Yang Terhebat Seluruh Dunia, kisah ini hanyalah sepersekian puluh dari puzzle kehidupanku, ya hanya sepersekianpuluh bagian dari semua cerita mengenai perjuangan, cinta, cita, asa dan segala hal yang menempaku sampai detik ini.
Halaman perhalaman aku tadaburi kembali, tulisan itu, kembali rasa sesak itu membuncah dalam dada

Aku pun manyadari bahwa semua euforia itu membuatku lalai, sungguh terlena, menyia-nyiakan waktu dua tahun kemarin dengan berbagai kesibukan yang aku lebih sering merasakan kecewanya daripada puasnya. Dua tahun disorientasi tanpa rancangan masa depan yang kokoh, dua tahun yang masih penuh dengan kejahiliyahan, kemunafikan. Dua tahun yang lebih sering aku lewati hanya karena prestige, bukan karena Allah, dua tahun yang sering membuatku terhenti di persimpangan jalan, dalam keputusasaan, dalam kebosanan, dalam keletihan, dalam kepayahan, dalam hati yang berduka.

Aku malu pada diriku sendiri, malu pada orang tuaku, pada adik-adikku, malu pada Etos, pada teman-teman,  yang terdalam malu pada Allah, malu atas tabiatku kemarin, malu atas semua kesia-siaan waktu itu

Pengembaraan dua tahun kemarin, pencarian makna hidup dua tahun kemarin. Dua tahun yang membuatku kini berhenti sejenak, memikirkan semua, membuka lembar demi lembar memori yang tersimpan dalam kognitif, membenah skema yang telah lama terbentuk, paradigma, pola pikir, kabiasaan.
Hingga akupun kembali teringat untuk apa perjuanganku, yang kala itu senantiasa terucap dalam tiap kidung doa, terpatri dalam sanubari,
“Ibu, apapun yang terjadi aku akan membuktikan bahwa suatu hari aku akan mampu membuatmu tersenyum bangga melihatku, akulah hasil didikan terbaikmu, sebuah pelajaran hidup yang tidak akan aku peroleh di bangku sekolah manapun. Allah pasti akan membalas kerelaanmu bangun tiap pukul satu dini hari sampai istirahat kembali pukul sepuluh malam demi anak-anakmu, Allah akan memberikan suatu hadiah spesial untukmu Ibu, yang tak ternilai oleh dunia dan seisinya, dan aku akan berjuang untuk membuat bangun pagimu dan seluruh perjuanganmu tidak sia-sia, Bu"

Malam ini aku luruskan semuanya, semua mimpi, semua cita, semua perealisasian rencana, semua kegigihan. Dan ketika lingkungan mendidikku hingga mengenal-Nya, sungguh semua perjuanganku, proposal hidupku aku mintakan persetujuan kepada-Nya, semua hasratku mambahagiakan ibu, semua mimpiki untuk menjadi bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang.

Aku mintakan persetujuan proposal hidupku pada Allah, jika mimpiku ini Engkau ridhoi, memberi kemuliaan dan kebermanfaatan untukku, ibuku dan smeua orang disekitarku, maka kuatkan aku untuk membuatnya menjadi nyata. Namun jika ini justru membuatku menjadi hina dina, maka beri petunjuk-Mu untukku.

Esok permulaan yang baru, setelah proses refleksi dan muhassabah yang panjang, setelah proses me-recharge energi yang sudah lebih dari cukup, saatnya pembuktian itu. Untuk Allah, untuk Ibu, Untuk Ayah, Untuk Clara, Untuk Soqifah, Untuk Cholis, Untuk Zuhri, Untuk Syifa, Untuk Sang Pengejar Matahari, Untuk Pelangi  Jakarta, Untuk Etos  Jakarta, Untuk Etos Nusantara, Untuk segenap manajemen Etos, Untuk Dompet Dhuafa, Untuk para muzakki, Untuk Psikologi, Untuk UI, Untuk Sukoharjo, Untuk Depok, Untuk Indonesia. Sungguh sebenarnya aku harus bertanggungjawab atas semua itu..

Being Manusia Wajib


Menjadi manusia seperti apa, itu adalah  pilihan, ya pilihan, jika B adalah Birth dan D adalah Death maka diantaranya ada C yakni Choice, pilihan untuk menjalani masa di antara kedua keniscayaan tersebut, Choice, pilihan yang harus melibatkan Zat ini sebelum apapun, A yakni Allah.

Memilih menjadi manusia seperti apa mungkin menjadi salah satu dari choice yang sebenarnya sangat mudah jika kita harus melafalkan_melisankan ingin menjadi yang mana, namun sulit jika harus membuktikan dengan perbuatan, karena bagaimanapun, perbuatan_action membuktikan setiap kata yang terucap, apakah hanya seperti terjemahan Q.s As Shoff ayat 2 s.d 3 "Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan". Ayat ini yang biasanya ditujukan dalam hal berdakwah, saya pikir bisa digunakan pada kesempatan ini juga. Perbuatan kita harus mencerminkan apa yang kita katakan.

Menjadi manusia seperti apa?
Ini dikutip dari pernyataan EmHa Ainun Najib, bahwasanya manusia dibedakan menjadi empat berdasarkan dampak keberadaannya bagi lingkungan sekitarnya
Pertama. Manusia wajib
Khairunnas anfa'uhum linnas--> sebaik-baik menusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, manusia seperti ini keberadaannya sungguh memberikan ketenangan, memberikan manfaat, keberadaannya dinanti, setiap permasalahan pasti akan selesai jika ia ada, manusia seperti ini sungguh wajib keberadaannya di sisi orang-orang di sekitarnya, keberadaannya dinanti, menjadi wajib, karena jika ia tiada mungkin banyak urusan yang terbengkalai, mungkin akan banyak hati-hati yang menangis, manusia penuh teladan, penuh manfaat, penuh kemuliaan
Inikah kita?

Kedua. Manusia sunnah
Keberadaannya masih dinanti, karena ia mampu memberikan manfaat bagi sekitar, mampu membuat lingkungannya bahagia, namun ketiadaannya bukan menjadi suatu masalah. Menusia ini dimana berada masih selalu memberi teladan, memberi kemuliaan
Inikah kita?

Ketiga. Manusia mubah/ makruh
Keberadaan ketiadaannya bukan hal yang cukup dipikirkan, ada atau tidak orang ini kondisinya sama saja, tak ada kebaikan yang bertambah, semuanya stagnan, tanpa kebermanfaatan, tanpa teladan, tanpa kemuliaan. Manusia mubah/makruh tentunya tidak dipedulikan keberadaannya karena tidak mempu memberikan sesuatu yang signifikan
Inikah kita?

Keempat. Manusia Haram
Keberadaannya sungguh-sungguh dianggap bagaikan suatu kerugian semata, haram. Keberadaannya hanya menambah keributan, menambah kemaksiatan, merusak kedamaian, merusak sistem, membuat banyak hati berduka. Kepergiannya sungguh sangat dinanti, tanpa penyesalan, tanpa merasa dimiliki. Manusia tertolak.
Inikah kita?
Naudzubillah

Choice, pilihan itu ada di tangan kita. Bagaimana kita mendekatkan diri pada Allah agar pilihan yang kita ambil benar. Bagaimana kita melakukan yang seoptimal mungkin, yang terbaik dalam hidup kita hingga Allah menilai kita pantas mendapat pahala-Nya.
Pilihan itu ada di tangan kita, bagaimana kita mampu meyakinkan Allah bahwa kita benar-benar manusia yang berhak mendapat rahmat-Nya
Pilihan itu ada di tangan kita, pilihlah yang terbaik
Buktikan dengan aksi nyata yang terbaik, dengan perjuangan, dengan keistiqomahan

Jumat, 10 Agustus 2012

Perjalanan

menepi dari buih yang berkejaran di tengah lautan 
memisahkan diri dari koloni partikel penyusun kehidupan 
menyepi dari berbagai kegaduhan alam raya 
menyendiri dari kerumunan ambisi makhluk dunia 
berjalan di tepian, mengharu biru bertafakur alam, menikmati liuk daun dimainkan angin,
 kristal embun dipapar siluet mentari pagi 
berjalan di tepian, 
di antara deru dan eksotisnya malam, 
tersenyum pada manusia-manusia malam, 
menyapa lampion raksasa dan ribuan lampu pijar menghias angkasa 
menatap gerobak-gerobak, gedung-gedung pencakar langit, lalu lalang mesin beroda, pengap, sesak kemudian kembali menggigil 
dalam senyapnya malam yang menyembilu 
 berjalan di tengah hamparan padi nan menguning 
menatap mereka dengan sejuta harapan mengenai hari esok

 ini hanyalah proses perenungan 
melihat dunia dari sisi nan jauh, jauh 
berhenti sejenak, sejenak saja 
mempertanyakan mengapa anak-anak itu berhenti sekolah 
mempertanyakan mengapa mereka meminta-minta 
mempertanyakan mengapa mereka hanya makan nasi aking 
mempertanyakan mengapa badan mereka kurus kering
mempertanyakan sebuah elegi kemiskinan 
berhenti sejenak, sejenak saja
 mempertanyakan mengapa ia yang seorang bermobil banyak 
mempertanyakan mengapa masa muda itu dihabiskan di diskotik
 mempertanyakan mengapa ia mempertaruhkan nyawa di arena balap liar 
mempertanyakan mengapa ia membuang-buang makanan enak 
mengapa ia begitu mudahnya bersenang-senang 

mempertanyakan semua paradoks kehidupan 
mempertanyakan mengenai perdamaian 
mengenai kesia-siaan usia 
mengenai semakin sedikitnya kesempatan di dunia 
ini hanyalah proses perenungan 
mencoba merasakan sedihnya, kecewanya, bahagianya, semangatnya, putus asanya hidup 
darimana tahu makna kehidupan? 
dari angin yang meniupkan pengap dan sesak 
dari angin yang menghembuskan kesejukan 
dari angin yang menyibakkan aroma kematian 
dari angin yang menghembuskan keoptimisan 
dari realita dan idealita 
dari perjalanan-perjalanan 
jalan panjang mencapai rumah keabadian

Kabihat

Apa ini?
Disini, hujan masih terus mencurahkan air kehidupannya
Matahari, matahari sudah sedari tadi rehat disebalik gumpalan awan
Dan angin, angin masih senantiasa setia menghembuskan berbagai kabar mengenai dunia, tentang situasi penjuru bumi
Pelangi, Pelangi mungkin masih menunggu gilirannya untuk melukis langit
Berharap cemas akankah hujan dan matahari menghendakinya nampak meski hanya sesaat
Monoton
Tapi hujan tapi matahari tapi angin tapi pelangi
Apa ini?
Mereka bersiklus, dalam tugas penciptaan
Menciptakan gejala alam mahadahsyat
Dalam sekali "Kun"
Lantas "Fa Yakuun"
Dan seluas langit bumi takzim bersimpuh
Sesal, takjub, tergetar, takut
Tapi apa ini?
Tugas penciptaanmu?
Khairunnas anfa'uhum linnas
Sudahkah?
Sudahkah?
Apa ini?
Congkak, Abai, Dusta, Munafik
Tiadakah mungkin esok, lusa
Mungkin detik ini, Izrail itu
Tiadakah kau ingat?
Tiadakah kau ingat?


Rabu, 08 Agustus 2012

Tanya

Sering aku bertanya
Pada malam
yang dengan kepekatannya mencekami dunia
Pada padang bulan
yang menerangi semesta dengan indahnya
Pada fajar
yang menyingsing menguapkan embunnya
Pada siang
yang menyapa peluh insan membanting tulang
Pada lembayung senja
yang berderai mistik dan eksotik
Bertanya akan siapa aku
Tentang tugas penciptaanku
Tentang apa yang aku telah lakukan
tentang pagiku, mudaku, tentang kemarinku
tentang sesalku, sepiku, bahagiaku
tentang siangku, senjaku, masa depanku
tentang rahasia Illahi pada setiap detik menuanya usiaku
tentang catatan sejarah hidupku

Kamis, 02 Agustus 2012

Ramadhan Unik

hei, ramadhan
selain banyak orang yang mendadak rajin tilawah (alhamdulillah), masjid-masjid yang selalu hangat karena anak-anak tadarus sampai pagi, bedug sahur yang meriah, ngabuburit yang bikin suasana sore begitu damai, terkadang dengan suara mercon yang bikin deg-degan, atau kembang api yang indah, nyari buka puasa di masjid kampus yang ngangenin, segala hal tentang ramadhan memang selalu indah (kecuali mercon tapi yaa -_-")
satu lagi suasana ramadhan yang unik adalah jeng jeng jeng,,,,, kerumunan anak-anak SD di setiap mushola buat minta tanda tangan penceramah ba'da tarawih..

buku kegiatan bulan ramadhan, mengingat-ingat 6 tahun lalu kalo nggak salah berisi checklist sholat baik itu sholat wajib maupun sholat sunah, dilaksanakan munfarid ataupun berjamaah, catatan kultum sholat subuh dan ceramah sholat jumat juga catatan ceramah tarawih yang berisi judul dan rangkuman ceramah serta tandatangan penceramah.
Dari awal ramadhan hampir semua mushola menjadi sangat ramai (selain emang ada seleksi alam jamaah tarawih) juga diramaikan oleh kicauan anak-anak yang (biasanya) lebih banyak main-mainnya daripada sholatnya, hehe (*biasa anak-anak --> ungkapan biasa yang seharusnya tidak dibiasakan :P)
Buku kegiatan ramadhan, mungkin dimaksudkan untuk memantau kegiatan siswa selama bulan ramadhan, keaktifannya ketika mengikuti berbagai rangkaian ramadhan yang spesial, berlomba-lomba untuk segera mendapatkan tandatangan penceramah sampai-sampai sholat witir belum elar udah pada stay tune di deretan terakhir jamaah ikhwan, berisik (anak-anak selalu gitu ya? perasaan saya dulu enggak :D)
Secara tujuan baguslah buku kegiatan bulan ramadhan tapi secara praktek? yaa sekali lagi disparitas das sein dan das solen. sering banget ya saya membahas tentang gap antara idealita dan realita? tapi nggak apa-apalah.. sekali lagi mungkin akan dianggap, biasalah anak-anak. tapii nggak baik juga kan membiasakan mereka ambil jalan pintas. maksudnya apa nih? nah jadi gini, ini berdasarkan yang terjadi di daerah tempat saya tinggal, plus pengalaman ketika saya masih kecil, anak-anak yang katanya generasi penerus bangsa itu kebanyakan (meski nggak semua) banyak main-mainnya, tidak mendengarkan penceramah, trus judul serta isi kultum tinggal nyontek. belum lagi si anak udah pergi entah kemana, si buku dititipin sama temen, esok hari ketemuan buat ngambil, atau memaksa kakak/ibu untuk memberikan bocoran isi kultum.
gimana yaa?? yaah mungkin iya bisa dimaklumi sebagai kenakalan anak-anak yang mana ketika mereka beranjak dewasa bisa berpikir, tapii,, nggak bisa disalahkan juga kan kalau kita bilang pendidikan terbaik itu ya sejak dini. bisakah kita kategorikan dengan adanya sikap-sikap seperti itu merupakan penanaman dan pembiasaan tin dakan curang?
yah sekali lagi, peran orang tua sebagai pengendali anak diperlukan dalam hal ini,. nasihat, nasihat dan terus dinasihati, mana yang baik dan mana yang buruk.
karena orang tua adalah yang bertanggungjawab atas anak-anaknya.
#semangat membina :-)

#JogjaIstimewa part1

Entah mengapa akhir-akhir ini mendadak lagu Yogyakarta dari kla Project menjadi soundtrack harian dalam setiap aktivitas,
Jogja, terlepas dari status yang disandangnya sebagai Daerah Istimewa sebagaimana syair-syair dalam beberapa lagu yang diciptakan oleh musisi yang mungkin ‘terlanjur’ jatuh cinta dengan Jogja, terlepas dari julukannya sebagai kota pelajar yang mencerminkan tingginya intelektualitas penduduknya (barangkali), terlepas dari semboyannya “Jogja berhati nyaman” yang mungkin setelah mendengarnya akan menimbulkan sugesti bahwa Jogja itu nyaman atau hati menjadi nyaman ketika berada di Jogja (entahlah):-)

Ya, terlepas dari semua itu, bagiku, Jogja merupakan sebuah kota yang istimewa dan akan selalu istimewa. Ini mengenai jalan juang, mengenai air mata, asa dan berbagai pergolakan dalam jiwa. Sebuah penilaian subjektif, sangat subjektif malah yang untuk mencapai pemahaman terhadap penilaian tersebut membutuhkan imaji tersendiri dan mungkin tidak semua orang akan menganggap hal ini sebagai suatu yang normal, bisa saja dianggap terlalu berlebihan atau justru muncul pernyataan ‘ah kayak gitu sih biasa saja’. Bagiku tidak pernah menjadi masalah, karena ini mengenai jalan hidup yang ditakdirkan-Nya bagi setiap orang, mengenai refleksi masing-masing orang terhadap jalan hidupnya, tergantung seberapa dalam penghayatan orang tersebut terhadap setiap detik waktu yang dilaluinya, seberapa dalam pemaknaan setiap orang terhadap setiap potongan mozaik peristiwa yang terjadi dalam hidupnya yang kemudian dirangkai sehingga terbentuk menjadi fase masa lalu yang kemudian mempunyai arti, menjadi sebuah memoar untuk dikenang, segera dilupakan atau dengan susah payah mencoba di-repress dalam alam bawah sadar, untuk dibagi karena menginspirasi ataupun disimpan untuk dirinya sendiri. Ya, itulah masa lalu.

Jogja, benar saja bahwa selalu ada setangkup haru dalam rindu setiap kali aku mengunjunginya, teringat akan wajah ibu yang penuh restu, wajah ayah yang penuh was-was, melihat sebuah asa akan masa depan yang indah, melihat rasa mengganjal di dada karena kegagalan, ribuan butir peluh dan ritme irama jantung yang berdegup kencang, berbagai air mata penyesalan dan sebuah peristiwa yang mengharu biru atas sebuah kata, berhasil. Jogja, hanya Jogja. Jogja yang telah menjadi saksi bisu akan makna perjuangan bagi seorang anak manusia yang terbatas dalam segala hal (finansial, intelektual), perjuangan akan berbagai kegagalan, perjuangan untuk kembali membangkitkan semangat, perjuangan untuk kembali melanjutkan perjuangan (muter-muter ya?). Terhitung enam kali aku mengunjungi Jogja di pagi buta, berangkat sebelum ayam berkokok (karena mungkin gadis-gadis desa belum mulai menumbuk padi kali ya) dan pulang ketika matahari sudah waktunya mengikhlaskan keberadaannya digantikan oleh rembulan, didampingi ayah terhebat seluruh dunia yang selalu memberikan dukungan penuh terhadap berbagai keputusan yang aku ambil, yang merelakan waktu dan tenaganya untuk mengantarkanku setiap pukul empat pagi, menunggu dengan was-was, menanyai bagaimana tadi dan menyemangati ketika tersirat kekecewaan dari kata-kataku. Di Jogja, lima kali aku berjuang untuk mencapai sebuah cita, berkuliah. Sebelumnya mungkin akan aku jelaskan mengapa aku sangat terobsesi untuk kuliah. Bukan semata untuk mengikuti trend dimana setiap kali lulus SMA baiknya adalah melanjutkan jenjang perguruan tinggi, sama sekali bukan. Aku anak pertama dari enam bersaudara, kedua orang tuaku merupakan pekerja keras demi mencapai hidup berkecukupan (meski dapat dikategorikan kurang mampu), aku menanggung tanggung jawab itu, lima adik kecil yang membutuhkan teladan, membutuhkan penyemangat untuk selalu optimis menjalani kehidupan, membutuhkan jalan keluar dari labirin kemiskinan, membutuhkan alasan untuk selalu berjuang. Bagiku, kuliah adalah jawaban untuk itu semua, dimana aku bisa mendapatkan berbagai wawasan baru mengenai dunia, dimana aku mengenal keoptimisan dalam berjuang yang nantinya akan aku tularkan kepada mereka, dimana aku meyakini akan ada sebuah janji kehidupan yang lebih baik melalui jalan ini.

Kalian tahu kegagalan itu begitu menyakitkan, sangat menyakitkan. Lima kali aku mengikuti ujian masuk, aku gagal. Dan penyesalan atas banyaknya biaya yang telah dikeluarkan kedua orang tuaku demi formulir ujian masuk itu jauh lebih menyakitkan daripada makna kegagalan lulus ujian itu sendiri. Namun bagiku, yang dinamakan hidup adalah ketika telah merasakan kesakitan-kesakitan itu. Kala itu mungkin menjadi dosa terbesarku karena menyia-nyiakan kesempatan formulir ujian masuk dengan semua kegagalan tersebut, merasa bersalah, sangat, merasa tidak berguna dan sangat bodoh, tentu. Namun banyak pelajaran yang aku dapatkan dalam kesempatan itu, bagaimana menjadi rendah hati, bagaimana menjadi pribadi yang fokus, bagaimana berusaha extramiles dan lebih extramiles lagi, bagaimana seorang hamba menghamba kepada penciptanya. Dan aku menyadari suatu hal bahwa hasil tidak selalu liniar dengan usaha, karena disana ada ketentuan Tuhan yang tentu penuh berjuta alasan mengapa harus begini dan begini, mengapa akhirnya harus yang itu bukan yang ini serta mengapa harus melalui jalan ini bukan jalan itu. Makna bahwa Allah selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Dan kegagalan-kegagalan itu, semua perasaan bersalah itu, mendorongku untuk semakin giat, semakin mendekat pada-Nya hingga ujian keenam namaku tercantum dalam sebuah portal penerimaan mahasiswa baru bahwa aku resmi menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Ini cerita mengenai kegagalan terbesar yang pernah aku alami, mengenai rasa bersalah yang sangat, mengenai penyesalan yang mendalam, mengenai kebangkitan dari semua keterpurukan, mengenai semangat baru, mengenai sebuah makna perjuangan, fokus, rendah hati, menghamba pada pencipta, berbaik sangka pada-Nya, mengenai sebuah makna bahwa everything will be okay in the end, if its not okay its not yet the end!

ini adalah Jogjaistimewa part1 ku, nantikan kelanjutan cerita Jogjaistimewa berikutnya ya, masih banyak hal yang membuatku selalu mampu mengatakan bahwa Jogja is wonderful!