Senin, 21 Februari 2011

TOENAS. Try Out etos Nasional merupakan simulasi Seleksi Masuk Perguruann Tinggi Negeri yang sebenar-benarnya simulasi. serentak di 9 kota di Indonesia dengan target 30.000 peserta. TOENAS tak hanya memberikan try Out tetapi juga membangkitkan kepekaan sosial dimana kalian semua para peserta akan menjadi relawan TOENAS pduli pendidikan.....

Minggu, 20 Februari 2011

ObNis…. Obrolan manissssss

Malam ini bincang-bincang dengan temen. Share ilmu gitu lah ceritanya.

Subhanallah banyak banget yang didapet, pertama tentang perkataan salah satu dosen di seminar yang diikuti temenku itu. Menarik sekali, beliau berkata bahwa what do you think is what you do is who are you. Sebuah formula bahwa perilaku itu sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Contoh sederhana yag bisa dibuat tadi sih tentang mahasiswa yang mempunyai nilai jelek di salah satu mata kuliah dan dalam pikirannya mengatakan bahwa ‘wah pelajaran ini memang sulit, kalo aku belajar pun entah bisa entah enggak’ maka perilakunya akan menjauhkan ia dari belajar yang efektif sehingga sekeras apapun ia belajar tetap dirasa sulit, hasilnya ia menjadi mahasiswa yang lemah di mata kuliah tersebut. Padahal jika ia mau berpikir positif sedikit saja, maka semuanya akan berubah.

Kedua adalah tentang katakan hitam adalah hitam katakan putih adalah putih, itu versi saya sendiri sih menyimpulkannya J jadi begini, jika dalam kehidupan sehari-hari kita menemui sesuatu yang salah ya katakan salah, ingatkan untuk diperbaiki lagi. Ga ada pemakluman karena itu akan menjadi kebiasaan yang menurunkan performa. Seperti misalnya kita menargetkan akan ada 100 peserta dalam suatu acara yang diselenggarakan oleh suatu UKM, jika yang hadir 70 orang ya jangan berkata ‘saya apresiasi karena yang datang sudah banyak’ tetapi katakan ‘tingkatkan usaha lagi karena targetnya 100 kan? Dan ini baru 70. Ayo cari yang 30 lagi!! ’. mengapa begitu? Bukankah pemakluman untuk jumlah yang hanya selisih sejumlah itu tidak masalah? Oh itu masalah. Akan menjadi kebiasaan jika hal itu menjadi keseharian mahasiswa. Jika ada kesalahan tindakan mahasiswa dalam suatu hal dan dimaklumi maka ia akan merasa bahwa dampak dari apa yang ia lakukan atau yang ia katakan itu tidak besar buktinya masih bisa dimaklumi.

Ketiga, pahami bahwa perubahan besar dimulai dari diri sendiri. Jika ada kuliah yang dosennya pasti terlambat masuk kelas lebih dari 30 menit maka ada sebagian mahasiswa yang mengundur jam berangkatnya sehingga tidak terlalu lama menunggu dosen. Itu kembali ke kita “kamu mau seperti itu ya terserah! Mengikuti dosen kamu yang seperti itu ya ga ap-apa. Tapi masa’ iya dosen sudah buruk kamu mau ikut-ikutan buruk. Apa bedanya kamu dengan dosen yang keterlambatannya kamu benci itu??” kalo dosen logpen bilangnya “pahami kalo hidup ini tidak adil. Saya dosen dan kalian mahasiswa, kalian baru saja masuk UI dan baru belajar selama 3 bulan sementara saya sudah lulus dari UI dari kapan tahu, melanjutkan S2 dan S3. Saya boleh terlambat tapi tidak dengan kalian. Kecuali kalau kalian melakukan hal yang sama untuk menyelesaikan s1, S2 dan S3 dan melamar menjadi dosen UI, bolehlah saat itu kita sejajar” appreciate nya buat beliau adalah bahwasanya kata-kata itu bukan omdo, jika kelas disepakati akan dimulai jam 2 tepat, maka saat jarum panjang menunjuk angka 12 dan jarum pendek di angka 2 beliau sudah di tempat.


Empat, mengenai aksi. Sekarang kita berpikir lebih terbuka. Mahasiswa berkata bahwa aksi bukan serta-merta dilakukan ketika adanya suatu kebijakan atau isu yang merugikan mahasiswa atau masyarakat. Tetapi dikaji terlebih dahulu oleh badan mahasiswa yang berhak, diadvokasi kepada pihak yang mempunyai otoritas mengenai kebijakan tersebut, diusahakan sampai benar-benar diperoleh hasil maksimal dan jika pihak otoritas tetap tidak bisa mengubah kebijakannya menjadi lebih baik untuk masyarakat maka mahasiswa akan turun ke jalan. Tapi bagaimana jika dengan demonstrasi pun tidak merubah kondisi? Kalangan yang kontra terhadap demonstrasi selalu berkata bahwa aksi turun ke jalan adalah perbuatan yang sia-sia, ada cara lain untuk menyelesaikan masalah tanpa harus turun ke jalan. (Tapi apa dan bagaimana?? Langkah yang real dan tidak mengawang-awang???) ‘Mahasiswa beraninya cuma teriak-teriak di jalan karena mereka mengatasnamakan kelompok besar, coba saja kalau di kelas, akankan mereka berani berpendapat layaknya aksi?.’ Kata salah seorang dosenkuJ. Kebetulan sebelumnya saya sangat berminat untuk turun ke jalan karena seperti lagu aksinya BEM UI Buruh Tani bahwa berjuta kali turun aksi bagiku suatu langkah pasti. Sebuah pendapat yang baru bisa saya terima adalah ‘buat apa mahasiswa turun ke jalan dan mengumpulkan massa banyak sementara kebanyakan dari mereka tidak mengetahui akar permasalahan yang akan mereka selesaikan secara detail? Apa modal mereka? Pengetahuan yang dangkal serta modal teriakan? ’. hmm, rumit memang. Yang ditakutkan adalah jika nantinya muncul orang-orang yang apatis menanggapi lemahnya kedua cara tersebut di atas, yakni orang yang berpikir “ya sudahlah, Negara Indonesia sudah terlalu banyak masalah, sudah sangat mengakar sehingga sulit diselesaikan”. Bagaimana jika semua mahasiswa berpendapat demikian? Hmm wassalam negeri ini. Padahal menurut inspiring speechnya UI SDP dikatakan bahwa jika Negara Indonesia diumpamakan mempunyai empat lilin, lilin pertama dianalogikan sebagai cinta dan itu sudah padam kemudian lilin kedua yaitu kedamaian yang semakin lama nyalanya semakin meredup hingga akhirnya padam kemudian disusul lilin ketiga yang dianalogikan sebagai iman yang sudah sangat luntur di negeri ini hingga nyalanya tak terlihat lagi, padam. maka sebenarnya masih ada satu lilin yang nyalanya pasti dapat menyalakan lilin-lilin yang lain. Dan lilin itu dianalogikan sebagai harapan. Negara Indonesia masih berhak untuk mempunyai harapan. Dan dengan harapan itu, perubahan itu sulit namun bisa tercapai. Pemikiran mengenai dua hal tersebut di atas, aksi ke jalan atau tidak aksi, tidak sepenuhnya salah. Jika kita dapat menentukan langkah nyata untuk keduanya, maka tak mustahil jika apa yang dilakukan sangat berpengaruh terhadap perubahan Indonesia menjadi lebih baik. Jika hati memang condong ke aksi mahasiswa, maka mari menciptakan demonstrasi yang efektif dan berkualitas. Jika lebih nyaman dengan tidak demonstrasi, mari lakukan langkah konkrit untuk menyelesaikan masalah, sehingga bukan Cuma teori saja. Semuanya adalah masalah keberanian memilih dan jika sudah memilih, bertanggungjawablah terhadap apa yang menjadi pilihanmu itu!